Hujan turun dengan derasnya, aliran airnya tak lagi menelusup tanah dan membuatnya becek. Transportasi kian mudah, orang-orang tak perlu menapaki tanah becek sepanjang jalan menuju pasar atau sawah. Namun sayang, sungai kian meluap, hampir-hampir meluluhlantakkan rumah, sawah dan segala di sekitarnya. Dampak nyata industrialisasi desa yang diusung kaum kapitalis asing dengan disokong oleh pemerintah negeri sendiri, entahlah, mungkin karena ketidaktahuannya. Jadi teringat pada sosok pahlawan tak begitu dikenal, Tan Malaka dalam karya hebatnya, Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) mengatakan, “Di semua sisi tugu raya ini akan terdapat Tugu peringatan manusia najis, pengkhianat Negara, penjual rakyat, kusta masyarakat! Puluhan, ya ratusan namanya dan gelarnya manusia najis yang dituliskan di semua sisi tugu raya ini. Yang masuk golongan manusia najis nomor satu ialah mereka yang dengan langsung membantu penjajah penindas, penghisap, atau pembunuh rakyat Indonesia. rupanya pemerintah republik menunggu pelamar najis yang baru.” Masihkah pemerintah era sekarang demikian?
13 tahun lalu, saat aku masih berada di sekolah dasar, kondisi desaku tak seperti saat ini. Di mana untuk ke sekolah, ke pasar dan ke sawah kami harus menyusuri jalan tanah yang sangat becek saat musim hujan tiba. Di sana-sini penduduk desa saling menyapa satu sama lain. Berjalan bersama sambil ngobrol hal-hal sepele namun tidak bisa diremehkan dampak positifnya, sebagai wujud toleransi, saling mengerti, bertukar informasi dan penyambung tali silaturrahim yang efektif. Sekarang, sepeda motor sudah menjadi penghuni baru hampir di setiap rumah. Pun demikian dengan televisi.
Saling sapa dan cerita hal-hal ringan seputar kehidupan kian redup. Yang ada hanya bel motor yang saling sapa. Kehidupan desaku kian angkuh saja. Individualisme telah sampai pelosok dan menjadi raja diraja yang dipuja. Televisi, menjadi tontonan sekaligus tuntunan dalam mengarungi kehidupan. Artis dengan segala tetek bengeknya menjadi idola. Cangkrukan malam bapak-bapak di mana mereka saling berkisah tentang kesulitan ekonomi, merosotnya panen kali ini, dan apapun yang ingin diluapkan sebagai pelepas lelah usai seharian bekerja tergantikan dengan nongkrong di depan televisi. Menyaksikan segala sajian televisi yang mayoritas tidak mendidik namun membodohkan.
Belum lagi saat orang tua terlena, sehingga mengurung anaknya di kamar untuk belajar sedang mereka nonton televisi. Sungguh miris menyaksikan hal ini. Masyarakat telah diperbudak oleh produk-produk kemajuan teknologi tanpa menganalisa akibatnya. Anak-anak pun menjadi korban utama.
Dari semua masa sekolahku, masa SD adalah masa yang paling kurindukan. Kenangan terindah yang tak bisa ku lupakan. Masa di mana listrik belum masuk desa. Setiap malam ba’da maghrib, sepulang dari masjid, seperti biasa ayahku sudah membawa dimar ublik ke ruang tengah. Lalu memanggilku untuk belajar. Dengan lampu ublik yang meliuk-liuk diterpa angin sepoi-sepoi, ayah membantuku belajar. Tak jarang aku menangis tersedu-sedu karena tak bisa menjawab soal yang ayah lontarkan padaku dan aku memintanya mengakhiri belajar. Ibu dan nenekku pun tak mungkin membelaku. Karena ayahku tak akan pernah membiarkan itu. Meski demikian aku tak pernah membenci ayahku, justru aku sangat mencintainya.
Meski sering menangis, momen belajar malamku selalu berakhir dengan senyum dan canda tawa. Masih hangat dalam benakku saat ayah mengusap ujung hidungku dengan sarung yang dipakainya. Karena ujung hidungku hitam oleh asap dimar ublik yang mengepul sepanjang aku belajar. Terkesan jorok mungkin, tapi ketulusan cinta kasihnya tampak saat ia mengusapkannya di hidungku. Nenek dan ibuku pun turut tertawa gembira melihatnya. Sesekali mereka mengejek, “Wes pesek, ireng pisan nduk-nduk.” Diiringi dengan gelegar tawa bersama. Aku pun membela, “Lha anake sinten to mbok-mbok?” dengan senyum kemenangan aku mengutarakannya. Karena ibu, nenek dan ayahku nyatanya kalah berat, tak lagi mampu membantah.
Usai belajar, jika belum mengantuk, kami sekeluarga pergi ke rumah mbah gito; satu-satunya orang yang memiliki televisi di desaku. Televisi hitam putih yang dinyalakan dengan aki. Saat tiba di sana halaman rumah mbah gito telah berjubel oleh masyarakat setempat yang mengidolakan film Tutur Tinular. Anak-anak kecil seusiaku berkumpul bersama, bercanda dan selalu buat ulah. Hingga jika kami bertengkar dan berakhir dengan tangisan, televisi langsung dimatikan dan semua bubar, istirahat di rumah masing-masing.
Pagi harinya, jalan makadam atas rumahku telah ramai oleh teriakan dan canda tawa anak sekolah. Sayup-sayup kudengar suara ibu yang telah jengkel membangunkanku berulangkali. Hingga akhirnya ia mengangkatku dan memasukkanku ke dalam air untuk dimandikan. Kebetulan sekolahku tak jauh dari rumah. Cukup menyusuri jalan menanjak sekitar 5 menit aku akan sampai di sekolah.
Dengan menenteng sebuah termos berisi es lilin milik budhe, ku susuri jalan menanjak menuju sekolah. Cukup berat, bayangkan saja, seorang anak kelas IV SD menenteng sebuah termos berisi sekitar 40-50 buah es lilin. Belum lagi jalannya yang menanjak, tergopoh-gopoh aku membawanya, keringat pasti bercucuran. Tapi aku benar-benar senang dan sangat menikmatinya. Terlebih saat aku mendapat upah dari budheku. Bangga rasanya, mendapat uang hasil keringat sendiri. Begitulah masa SDku, si penjual es lilin adalah julukanku. Sebelum bel masuk berbunyi, aku duduk santai melayani pelanggan es lilin buatan budheku. Kala itu harga es lilin masih seratus rupiah, jumlah yang tak berarti apa-apa untuk saat ini, hanya dapat sebungkus permen merk level terbawah, yang mungkin beberapa saat lagi harganya pun akan melangit.
Jika es sudah habis sebelum jam sekolah usai dan pelanggan masih berjubel ingin membelinya, di jam istirahat aku pulang untuk isi ulang termos. Biasanya salah satu temanku membantuku dengan imbalan 2-3 batang es lilin gratis untuknya. Benar-benar usahawan kecil. Tapi kenapa sekarang aku tak bisa jadi usahawan sebagaimana masa kecilku dulu ya? Terlalu gengsi aku sekarang.
Jika pembeli sepi, aku bermain bersama teman-teman. Berbagai jenis mainan yang aku rindukan; colotan, petak umpet, rut, dakon, dam-daman, betengan dan banyak lagi yang lainnya mewarnai hari-hariku di sekolah dasar. Berkejar-kejaran dengan teman-teman, berteriak, kadang juga menangis karena bertengkar.
Semua terlintas di benak. Rindu akan kampung halaman. Rindu akan hadirnya masa kecil yang sungguh menyenangkan, bersama keluarga yang kubanggakan. Tina sayang Bapak, Tina sayang Ma’e, Tina sayang Mbok e… Tina sayang semua… terima kasih untuk cinta yang kalian berikan. Mewarnai hari-hari kecilku, terkenang dalam lubuk hati terdalam dan tak kan terlupakan.