Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Id al-Adha Seruni dan Senarai

Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar
Laa ilaaha illallah, Allahu akbar
Allahu akbar, walillah al-hamd

Gema takbir mengudara dari corong setiap masjid desa, menyeruak, memecah ramainya riuh rendah laju kendaraan di jalan raya depan rumah Seruni. Idul Qurban kali ini, Senarai tak bersembahyang di kampong halaman. Sedikit ingin mencari ketenangan, menjauh dari rutinitas hidup sebagaimana biasanya ia jalani, melepaskan diri sejenak dari berbagai aktivitas yang sejauh ini selalu menyita lebih dari separuh waktunya. Untuk tujuan itulah Senarai memilih rumah Seruni sebagai tempatnya.
Di rumah itulah Senarai menghabiskan liburan Idul Qurban. Berada di tengah-tengah orang yang  baru dikenalnya namun terasa bagaikan keluarga. “Ah, indahnya persaudaraan.” Gumam Senarai pada dirinya sendiri. “Semoga kelak aku bisa membalas kebaikan mereka.” Ia melanjutkan kalimatnya sembari memandangi sepasang suami-istri yang tak lain adalah orang tua Seruni.
Sudah menjadi rutinan, sehari sebelum Idul Qurban, orang tua Seruni pergi ke Pondok untuk sembahyang ‘id al-adha dan menyembelih hewan kurban di sana. Seruni dan Senarai bertugas menjaga rumah kala itu. Pagi-pagi buta, kira-kira pukul 04.00 dini hari Seruni telah memulai aktivitas rumah tangga, mulai dari nyapu, ngepel, nyuci, dan menyeduh 2 cangkir kopi tentunya. Usai semua pekerjaan itu beres, ia membangunkan Senarai untuk sembahyang Shubuh dan bersih diri, bersiap-siap untuk sholat id al-adha di masjid seberang.
“Waw, kok semua sudah kinclong gini Run.” Ungkap Senarai cukup kaget, kala matanya masih belum benar-benar terbuka dan nyawanya belum sepenuhnya ada.
“Ya iya dong, gue gitu. Udah sana kamu mandi duluan.” Balas Seruni, sembari menyeruput secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
Berjalan sempoyongan, Senarai menuju kamar mandi.
Pukul 05.30 WIB keduanya berbenah, mengambil mukena dan beranjak menuju masjid di seberang jalan. Berjalan di pinggir, berebut dengan lalu lalang kendaraan.
Fasholli lirobbika Wanhar.” Dengan ayat tersebutlah sang Khotib mengawali khutbahnya. Bahwa dalam berkurban, setidaknya dengan dua tujuan. Di mana sebagai kepentingan individu, berkurban adalah untuk beribadah kepada Tuhan Sang Pemberi Segala, untuk mencapai derajat takwa serta menggapai ridlo juga cintaNya. Melihat pada bagaimana sejarah Hari Kurban, kala itu Nabi Ibrahim diminta Tuhan untuk menyembelih Ismail, putra terkasihnya. Maka atas nama cinta kepada Allah, Sang Kholiq, Nabi Ibrahim dan Ismail pun dengan rela hati melakukan hal tersebut meski sebagai seorang Bapak itu merupakan suatu tindakan yang sangat memberatkan. Tak disangka, oleh karena ketulusan demi menggapai ridloNya dan memperoleh cintaNya, yang disembelih bukanlah anak terkasih, namun berubah menjadi seekor kambing. Jika mau mengambil hikmah, maka berkurban berarti merelakan sesuatu yang sangat dicintai sebagai bagian dari dunia ini untuk hanya mencintaiNya saja.
Di lain sisi, sebagai makhluk sosial, maka berkurban merupakan satu wujud kesalehan sosial. Memberikan sebagian dari yang kita miliki untuk dinikmati bersama tetangga dan saudara. Maka dengan berkurban, seyogyanya manusia bisa menjadi insan yang sholeh secara individual maupun sosial.
Begitulah khutbah Id al-Adha berakhir, semua jama’ah berdiri, berjabat tangan satu sama lain sembari melantunkan sholawat Nabi. Pun demikian Seruni dan Senarai, Id al-Adha kali ini memberikan makna tersendiri. “Semoga kami bisa menyembelih sifat-sifat binatang dalam diri.” Ungkap keduanya sembari menyusuri jalan pulang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Angin & Awan



“Jadi Wan, kita tak bisa serta merta pergi begitu saja. Kita masih juga harus memikirkan ini ke depannya. Setidaknya sampai kondisi stabil. Gimana menurutmu?” tanya Angin mencoba mendapat dukungan dari Awan.

“Oe!!! Sadar boy!” teriak Angin sembari menepuk bahu Awan. Aku nyrocos dari tadi bukannya didengarkan malah ditinggal berkhayal… sialan kau Wan! Angin melanjutkan.

Sedang Awan hanya nyengir dengan wajah datar, tapres.

Sepertinya Awan sedang tak ingin menanggapi sahabatnya. Ia ingin menikmati belaian lembut semilir angin malam itu, dengan menengadahkan muka ke ketinggian langit, Awan merebahkan diri, membiarkan tubuhnya menyatu dengan tanah, memandangi gemerlapan bintang yang terus berkedip-kedip seolah mengajaknya berbincang. Dan Angin membiarkan sahabatnya itu menikmati kondisinya. Ia pun turut merebahkan badannya di samping sahabat baiknya.

“Maulaya Sholli wa sallim daaiman abadaa, ‘ala habibika khoiril kholqi kullihimi…..” sayup-sayup terlantunkan sholawat Nabi dari mulut Awan. Matanya terpejam, ia tarik napas perlahan dan dikeluarkannya, berkali-kali ia mengulangi, berganti-ganti sholawat yang dilantunkannya. Tanpa sadar Angin pun turut mengikuti apa yang dilakukan Awan. Sepertinya mereka tengah berkonsentrasi untuk mengolah rasa dan potensi dalam diri mereka. Merasakan bagaimana darah mengalir melalui pembuluh, bagaimana jantung berdetak perlahan dan kadang terlampau cepat, bagaimana tulang rusuk terangkat kala menghirup dan kembali kendor kala napas dilepas. Mereka tampik segala pikiran yang melintas tiba-tiba. Menghindarinya sebisa mungkin, mencapai satu titik konsentrasi hanya pada rasa. Larut, larut dan semakin larut. Kedua sahabat itu menikmati rasa yang rasa. Hingga keduanya merasakan betapa segala yang ada dalam dirinya bergerak dengan sendirinya, tanpa kehendak atau perintah dari dirinya untuk melakukan itu.

Satu jam kiranya telah berlalu, keduanya membuka mata perlahan. Menebarkan pandang ke segala penjuru. Menatap ilalang yang bergoyang bersama hembusan angin malam yang semilir menyejukkan. Serempak mereka menarik napas dan melepaskannya diiringi sebuah teriakan…. Aaaaaakkkkhhhh!!!!

“Puas ya Ang… badan terasa lebih ringan. Betapa kita bukan apa dan siapa.” Celetuk Awan tiba-tiba.

Dan Angin mengangkat kedua bahunya cuek, seolah ingin mengatakan, “Emang enak dikacangin!!”

Awan yang memahami sikap sahabatnya spontan menepuk bahu Angin, “Oke, Sorry. Tadi lagi konsentrasi Boy.” Ucap Awan mencairkan suasana. Dan keduanya pun tertawa sembari beranjak meninggalkan halaman pesantren. ----- *** ---- *** ---- *** ----





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS