Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Nggak Pacaran??? Ketinggalan Zaman!!!

Sebuah kata yang begitu familiar di telinga khalayak, terutama kaum muda. Sebuah kata yang sejak kelahirannya hingga saat ini belum memiliki definisi yang jelas sehingga setiap individu akan mendefinisikannya sesuai keinginan pribadi. PACARAN, kata inilah yang tak pernah usang meski tergilas zaman bahkan terus berkembang seiring dengan kemajuannya. Terlebih saat arus westernisasi tak terbendung lagi. Keintiman antara dua insan berbeda jenis bukan lagi hal yang tabu namun telah menjadi sebuah kebanggaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002:807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berdasarkan pada definisi inilah konstruk sosial dan pemahaman yang salah kaprah terus dilestarikan bukan dicegah atau dibasmi. Ia seakan telah menjadi sebuah kemakluman bahkan kewajiban bagi setiap remaja. Para remaja yang mencoba untuk teguh memegang prinsip ‘tidak berpacaran’ justru diisukan sebagai orang aneh, upnormal, homo/lesbi, tak laku, sok suci dan ejekan lainnya yang tentu memberikan tekanan secara psikologis. Ini merupakan realita memilukan lagi manyayat hati. Realita yang jauh dari moral yang dulu pernah diajarkan dan ditanamkan para sesepuh kita agar menjaga kehormatan dan harga diri sebagai seorang manusia berakhlak karimah.
Banyak remaja menjadikan pacaran sebagai sebuah motivasi dalam hidupnya. Benarkah demikian? Lalu untuk apa Tuhan memberikan kita orang tua, keluarga, sahabat dan kerabat jika bukan untuk saling memberi motivasi, berlomba dalam kebaikan? Akankah kita menafikan cinta, kasih dan sayang yang telah mereka berikan dan curahkan untuk kita? Tentu tidak bukan? Jika kita mau sedikit mendengarkan hati nurani, cobalah untuk bertanya padanya mengenai benar tidaknya tindakan pacaran yang sedang kita jalani. Maka ia akan memberikan jawaban kejujuran yang mungkin saja kita abaikan. Padahal, kata filsuf terkenal Socrates “Kau tidak akan pernah bahagia jika kau masih melakukan hal yang jauh di lubuk hatimu mengatakan bahwa itu salah”.
Banyak remaja berargumen bahwa pacaran adalah langkah awal untuk mengenal calon, akan tetapi benarkah demikian adanya? Mayoritas teman saya ketika ditanya, pacar ke berapa? Maka jawabannya sangat bervariasi namun jarang yang menjawab pacar pertama dan terakhir karena segera menikah. Pacaran hanya mengikuti konstruk social yang telah salah kaprah. Mengejar dan menuruti kesenangan diri belaka.
Al-Qur’an, kitab suci agama Islam sebagai pedoman kehidupan umatnya telah jelas memaparkan bahwa “alkhobiitsaatu lil khobiitsiina wal khobiitsuuna lil khobiitsaat wath thoyyibaatu lilt thoyyibaatu wath thoyyibuuna lilth thoyyibaat…الخ” Qs. An-Nur: 29. Ini adalah hukum Tuhan yang tak terbantahkan. Karena itu jika ingin mendapatkan jodoh yang baik, berbuatlah baik. Demikian juga jika di masa muda begitu semangat berpacaran, maka tidak menutup kemungkinan bahkan hampir bisa dipastikan akan mendapatkan jodoh yang hobi berpacaran pula.
Meski demikian, bukan berarti saya mengklaim dan menyimpulkan bahwa mereka yang berpacaran lebih jelek, berakhlak sayyiah, pasti masuk neraka dan lain-lain sedang yang tidak berpacaran pasti berakhlak karimah, masuk surga dan sholeh/sholehah. Bukan demikian, karena kebaikan seseorang tidak hanya diukur dari satu sudut saja yakni pacaran atau tidaknya seseorang. Filsafat mengajari kita untuk bersikap kritis, dalam artian tidak dengan mudah mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’, tidak dengan mudah mengkafirkan seseorang hanya berdasar pada satu aspek saja. Akan tetapi filsafat mengajari kita untuk mempunyai world view/ wawasan dan pandangan yang luas, menyelamatkan kita dari kepicikan, kesempitan, kekakuan dan kesalahan dalam berpikir.
Namun bagaimanapun, terlepas dari semua pro-kontra dan positif-negatifnya, semua kembali kepada individu masing-masing. Sebagai saran, meninggalkan dunia pacaran dan segera menikah jika memang telah siap dhohir bathin adalah pilihan yang baik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perempuan dan Konstruk Sosial

Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki masih saja diperdebatkan. Sepertinya ini adalah topik yang tak akan pernah usang di setiap masa. Superioritas laki-laki atas perempuan memancing munculnya berbagai teori. Mulai teori psikoanalisa yang menyatakan  bahwa perilaku dan kepribadian perempuan dan laki-laki sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas, teori fungsionalis structural yang mengkonsepsikan laki-laki bertugas untuk mengurusi urusan luar (external world) sementara perempuan bertugas mengurus internal anggota keluarga, teori konflik yang berangkat dari asumsi bahwa siapa yang memiliki dan menguasai sumber-sumber produksi dan distribusi dalam suatu masyarakat maka merekalah yang memiliki peluang untuk memainkan peran utama di dalamnya, teori feminis yang masih terbagi lagi ke dalam beberapa kelompok, seperti: feminisme liberal, marxis-sosialis dan radikal, hingga teori sosio-biologis yang menyatakan bahwa pengaturan peran jenis kelamin tercermin dari “biogram” dasar yang diwarisi manusia modern dari nenek moyang primat dan hominid mereka. Kesemua teori tersebut memiliki sudut pandang dan landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Terlepas dari berbagai teori yang ada, menurut hemat saya, secara kodrati perempuan dan laki-laki memang berbeda. Kita tidak bisa memaksakan keduanya untuk sama. Perempuan dicipta dengan vagina sebagai alat seks dan laki-laki dicipta dengan penisnya. Tuhan menciptakan keduanya berpasangan guna saling melengkapi bukan saling merendahkan. Laki-laki membutuhkan perempuan demikian sebaliknya. Laki-laki tetaplah laki-laki dan perempuan tetaplah perempuan. Dari hubungan antara keduanya lah lahir manusia-manusia selanjutnya.
Beralih ke sudut pandang sosial budaya, saya pun mempunyai pandangan lain. Dalam hal ini saya sepakat bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama, yakni sama-sama memiliki kesempatan untuk berperan. Tidak ada superior atau pun inferior. Namun selama ini paradigma masyarakat bahwa laki-laki superior sedang perempuan inferior adalah benar adanya. Nyatanya masih saja external world dikuasai oleh laki-laki. Ini dapat kita saksikan pada pemilu tahun 2004 lalu, keikutsertaan perempuan dalam dunia politik tergolong rendah, hanya mencapai 11.3%. Padahal, Indonesia sendiri telah memberikan ruang bagi perempuan untuk turut aktif berpartisipasi dalam dunia politik. Undang-undang pemilu No. 12/2003 menyebutkan pentingnya aksi afirmasi bagi partisipasi politik perempuan dengan menetapkan jumlah 30% dari seluruh calon partai politik pada parlemen di tingkat nasional maupun lokal. Namun demikian, ini belum terealisasi secara maksimal.
Untuk membuktikan bahwa perempuan juga mampu adalah dengan membuka paradigma dan mindset yang bercermin pada budaya patriarki. Perempuan dianggap sebagai makhluk lemah yang tak mampu berbuat layaknya laki-laki. Seolah-olah perempuan adalah makhluk yang dicipta hanya untuk mengurusi hal-hal yang bersifat domestik saja. Ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang laki-laki dan perempuan seringkali dimaknai secara leterlek tanpa memandang aspek lain sehingga memunculkan makna seakan al-Qur’an sendiri mendukung adanya superioritas laki-laki atas perempuan. Dan hal seperti ini seringkali digelontorkan oleh kaum orientalis yang secara sengaja ingin mencari kelemahan Islam dan berhasrat untuk menghancurkannya.
Ironisnya, pendapat ini seringkali diamini oleh mayoritas masyarakat kita. Padahal, jika mau mengkaji lebih dalam dan menengok pada sejarah masa silam, yakni masa jahiliyah, Islam datang salah satunya untuk mengangkat derajat perempuan yang di masa itu dianggap sebagai musibah dan aib keluarga sampai-sampai malu ketika mempunyai keturunan seorang perempuan. 
Islam mengajarkan bahwa perempuan adalah makhluk mulia yang memiliki kesetaraan dengan kaum adam secara sosial, politik dan budaya. Kita bisa menengok, bagaimana sayyidah Khodijah r.a menjadi seorang pedagang sukses di masanya, bagaimana sayyidah Aisyah r.a mengikuti peperangan bersama baginda Rosul, dan masih banyak lagi perempuan yang berperan dalam bidang sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat kita hari ini keluar dari konstuk sosial yang menganggap bahwa perempuan inferior. Sekali lagi perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk berperan, baik dalam external world maupun internal world. Selamat berjuang wahai kaum hawa!!!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kala Beya dimaknai Uang

“Jer Basuki Mawa Beya”

Seringkali ungkapan Jawa tersebut didengungkan oleh hampir semua lapisan masyarakat. Secara umum, ungkapan tersebut memiliki makna setiap keinginan, cita-cita dan kebahagiaan pasti membutuhkan biaya (Pardi, 2009: 120). Dari ungkapan tersebut, hendaknya kita tidak salah tafsir atas kata beya yang berarti biaya. Bahwa biaya tidak selalu identik dengan uang. Akan tetapi beya yang dimaksud adalah segala hal yang dilakukan dan diberikan untuk mencapai cita-cita, keberhasilan dan kebahagiaan, baik itu berupa keuletan, waktu, tenaga, pikiran, juga termasuk uang di dalamnya. 

Sebagaimana kita ketahui bersama, tak ada seorang pun yang berhasil tanpa adanya usaha. Kita ambil satu contoh, seorang siswa menginginkan menjadi juara kelas setelah sekian lama tertinggal jauh di belakang. Jika ia hanya menginginkan tanpa ada usaha belajar lebih keras, meluangkan sedikit banyak waktu, tenaga dan pikirannya untuk kembali mengulas pelajaran yang telah diperoleh dan terus bertanya kala menemui kesulitan, maka mustahil cita-citanya untuk menjadi juara kelas akan terwujud.
Dalam skala lebih besar, seseorang yang menginginkan untuk menjadi Dosen misalnya, maka ia harus memperbaiki kualitas dirinya agar ia layak menjadi seorang Dosen. Ia harus mengorbankan waktu sekian lama untuk belajar, menjadikan dirinya berkualitas sehingga layak menjadi seorang dosen sehingga saat mengajar tidak ala kadarnya saja. Jika hal ini benar-benar terealisasi pada jiwa setiap mereka yang hendak menjadi Dosen niscaya pendidikan Indonesia akan maju dengan pesatnya dalam waktu singkat. Namun sayang, dewasa ini banyak anomali terjadi di masyarakat kita yang cenderung berpikir praktis, sesaat, serba instan, dan semakin melemahnya rasa ketuhanan dalam diri.
Banyak orang jadi Dosen bukan karena ia layak, tak sedikit pelajar dan mahasiswa mendapat ijazah padahal ia tak menempuh sekolah, hanya dengan segepok uang semua bisa dicapai. Parahnya mereka menganggap itu semua sebagai interpretasi atas idiom Jawa Jer Basuki Mawa Beya. Bahwa segalanya butuh pada biaya; uang. Andai paradigma seperti ini dibiarkan merasuki setiap jiwa orang Jawa, niscaya hidup ini akan amburadul, Wong Jowo wes ra ngerti Jawane. Dan kita benar-benar telah memasuki zaman Kaliyugo; zaman terakhir dalam ajaran Hindu, di mana kepuasan hati menjadi tujuan utama manusia. Di zaman ini apabila segala kebutuhan dan keinginan manusia yang bersifat duniawi baik itu berupa harta kekayaan maupun tahta kedudukan telah terpenuhi maka puaslah ia. Kehidupan semakin jauh dari nilai-nilai uluhiyah yang mengajarkan manusia untuk jujur, saling menghargai dan menghormati, bersama menciptakan perdamaian dunia, masing-masing individu berbuat untuk kesenangan orang lain dan berjalan di atas jalan dharma. Karenanya, marilah kita bersama mengembalikan zaman ini pada zaman Kartayuga agar tercipta kehidupan yang sejahtera, damai tanpa adanya kerusuhan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Diskriminasi Perempuan; Superioritas Laki-laki

Terjadi sebuah peristiwa “5 orang gadis diperkosa hingga ajal menjemput”. Menyikapi peristiwa memilukan ini, masih saja ada di antara kita berkomentar: “Makanya, jadi perempuan itu cara berpakaiannya dijaga. Jangan salahkan lelaki jika akhirnya tak tahan melihat lekukan-lekukan indah tubuh wanita yang sengaja dipamerkan. Kucing mana yang tak mau saat disodorkan daging empuk?”
Sudah dinodai hingga nyawa melayang, masih saja disalahkan. Malang nian nasibmu wahai perempuan! Padahal tak sedikit pemerkosaan yang dilakukan pada perempuan berjilbab, yang telah sebaik mungkin menutup auratnya. Jika demikian, masihkah perempuan juga dipersalahkan? Dari problem-problem seperti inilah terjadi pendiskriminasian perempuan. Mengapa hanya memandang dengan sebelah mata? tidak bisakah kita memandang segala permasalahan seputar laki-laki dan perempuan secara seimbang? Dari aspek perempuan juga laki-lakinya. Perempuan pun tak pernah meminta memiliki bentuk tubuh yang merangsang syahwat lelaki, pun demikian lelaki, ia juga tak ingin begitu berhasrat saat melihat tubuh perempuan. Semua itu alamian terjadi, kodrati.

Di sinilah letak keadilan Tuhan. Masing-masing kita baik laki-laki maupun perempuan harus menjaga diri. Bukan hanya satu pihak saja yang dipersalahkan. Saat ungkapan di atas terucap dari mulut seseorang, di saat yang sama, tidakkah ia juga berpikir bahwa laki-laki juga diharuskan ghoddul bashor? Ini terjadi karena paradigma masyarakat kita yang menganggap laki-laki adalah makhluk superior sehingga tidak patut untuk dipersalahkan. Padahal paradigma tersebut merupakan paradigma kaum kapitalisme yang menganggap perempuan sebagai makhluk lemah yang layak diperdagangkan guna meraup keuntungan.
Karena itulah, perempuan harus tahu siapa dirinya hingga ia tahu dan mampu bagaimana bersikap sebagai perempuan. Sebaliknya, laki-laki harus tahu siapa dirinya hingga ia tahu dan mampu bersikap sebagaimana mestinya seorang lelaki. Dengan demikian, tak lagi ada diskriminasi perempuan dan superioritas laki-laki. Karena di hadapanNya; Sang Pencipta laki-laki dan perempuan, kita semua sama. Tanpa kecuali. Hanya ketakwaan yang membedakan derajat kemuliaan. Laki-laki maupun perempuan tak berhak sombong atas dirinya. Tak malukah kita padaNya yang Maha sombong? Hanya Dialah yang berhak untuk sombong.
***_Tulisan ini lahir bukan karena penulis seorang perempuan_***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS