Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Tradisi Kami Berdalil, Bukan Bid’ah


Perbedaan di dunia ini merupakan hal yang lumrah, bahkan rahmat bagi alam semesta. Meski demikian, masih saja ada sebagian dari manusia yang mengkafirkan satu sama lain, membid’ahkan amalan-amalan saudara seimannya dengan tanpa melalui tabayun terlebih dahulu. Sehingga tak jarang hal tersebut memicu terjadinya perselisihan dan permusuhan sesama saudara muslim. Padahal, jika mau sedikit lebih terbuka alias tidak one open minded, duduk bersama, bermusyawarah lantas membahasnya secara keilmuan, maka tidak akan terjadi tindak anarkis oleh sebab perbedaan-perbedaan kecil yang hakikatnya semua memiliki dalil dan rasionalitas tersendiri.
Sebagai misal, sebagian orang beranggapan bahwa mendorong orang awam untuk rajin membaca al-Qur’an tanpa mengerti dan memahami maknanya merupakan perbuatan yang sia-sia (tidak memperoleh pahala), menghafal al-Qur’an tanpa memahami dan mendalami maknanya juga salah (”tak ada bedanya dengan kaset murottal” kata mereka). Sebagian mereka juga memiliki pandangan bahwa kebiasaan memilah dan memilih ayat atau surat tertentu dalam al-Qur’an untuk kemudian dijadikan amalan yang sering diamalkan dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan satu perbuatan bid’ah yang tidak benar dengan dalih ”al-Qur’an sama kok dibeda-bedakan??”  Lalu kegiatan khataman al-Qur’an, tadarus dengan mengeraskan bacaan al-Qur’an juga dinilai sebagai sesuatu yang salah. Jika segala hal dinilai salah dan dihukumi dosa tanpa mau membuka diri terhadap pandangan lain, maka tindak anarkisme, saling ejek, dan saling hina tidak akan pernah selesai.
Sebelum mengkafirkan, menyalahkan dan membid’ahkan amalan sesama saudara seiman, hendaknya kita memperhatikan beberapa hadits Nabi berikut: ”Iqrouu al qur’ana fainnahu ya’ti yaumal qiyamati syafii’an li ashabihi” dalam hadits tersebut yang dimaksud ”Ashabul Qur’an” yakni ahli al-Qur’an. Dan dalam hadits tersebut pula, untuk bertitle Ashabul Qur’an seseorang tidak harus menjadi ahli tafsir terlebih dahulu, tidak harus tahu maknanya. Sebaliknya, ahli membaca saja sudah termasuk Ashabul qur’an. Karena secara lafdzi telah jelas bagaimana hadits tersebut diawali dengan kalimat ”iqrouu” yang artinya ”bacalah!” dan diakhiri dengan kalimat ”Liashabihi” dimana mereka yang membaca al-Qur’an secara otomatis termasuk Ashabul Qur’an dengan atau tanpa memahami makna dan tafsirnya. Dan mereka (orang-orang yang membaca al-Qur’an sekalipun tidak mengerti dan memahami maknanya) tetap berhak mendapat syafaat di hari kiamat kelak.
Hadits-hadits lain tentang membaca al-Qur’an pun demikian, tidak ada satu pun yang menjelaskan bahwa membaca al-Qur’an itu adalah perbuatan bid’ah dan berdosa. Sebaliknya, siapa yang membaca satu huruf saja dari al-Qur’an, baginya pahala. Sebagaimana hadits berikut: Man qoro’a harfan min kitabillah falahu hasanatun, wal hasanatu bi ’asri amtsaliha,  la aqul alif lam mim harfun wa ma’lum ladaina anna alif faqod la ma’na laha wa la na’rifu ma’naha, wa lam faqod la ma’na laha wa la na’rifu ma’naha, fabihadza nastadillu ala anna man qoroal qur’an wa lam ya’rif ma’nahu kana lahu hasanatun.
Di samping itu, ada sebagian orang yang ketika mendengar seseorang ngaji al-Qur’an dengan cepat dan lancar mereka menghinanya dengan berkata: ”tak ada gunanya lancar kalau tak paham arti dan maknanya”, lalu jika ada yang mengaji pelan dan agak kesulitan alias grotal-gratul juga dihina, ”ini ngaji kok tajwidnya salah semua, makhorijul huruf juga tidak diperhatikan dengan baik, kayak gitu masih saja ngaji diperdengarkan lewat speaker”. Tindakan sinisme yang berlebih demikian tidak lain dan tidak bukan sebab saking bencinya mereka dengan tradisi tadarus. Sehingga semua serba salah dan selalu dinilai salah, lancar dihina, lambat (grotal-gratul) juga dihina, padahal Kanjeng Nabi Muhammad saw kalau ada orang ngaji, lancar dipuji, lamban juga dipuji. Kita yang hanya manusia biasa, mengapa begitu mahal terhadap orang awam? Toh yang memberikan pahala atau tidaknya bukanlah kita, melainkan Allah swt.
Dalam sebuah hadits hal tersebut telah dijelaskan:
Alladzi yaqro al-Qur’ana wa huwa maahirun bihi ma’a safarotil kiromil baroroh.  Walladzi yaqro  al-qur’ana wa yuta’ti’ fihi wa huwa alahi sab lahu ajron
Bahwa siapa yang membaca al-Qur’an dan ia pandai maka derajatnya sama dengan malaikat-malaikat yang mulia dan taat, dan siapa yang membaca al-Qur’an sedang ia lamban, maka ia mendapat pahala dua kali lipat; (yakni pahala membaca dan pahala berjuang). Hal ini sebagaimana orang yang berijtihad. Apabila benar, ia mendapat dua pahala dan jika salah maka baginya satu pahala. Dan tidak ada vonis bahwa yang salah akan masuk neraka.
Selesai permasalahan tahu dan tidak tahu arti, makna dan tafsir, masih saja ada sebagian mereka yang membid’ahkan membaca al-Qur’an dengan keras. Jika yang dimaksud adalah keras yang mengganggu sehingga menimbulkan huru-hara besar, madlorot sosial, hal itu masih dapat ditolerir. Namun, selama membaca al-Qur’an dengan keras itu berada pada level wajar dan tidak mengganggu, seharusnya hal itu justru bagus dan mendapat tambahan pahala. Bagaimana bisa? Tentu! Karena man istama’a ila ayatin min kitabillah kataballah lahu hasanatan mudho’afan (Allah mencatat baginya kebaikan yang berlipat ganda). Hal itu berarti yang mengeraskan bacaan juga dapat pahala, karena tidak mungkin orang lain mendengarkan bacaan al-Qur’an kalau membacanya perlahan. 
Lalu tentang membaca ayat dan surat tertentu dalam al-Qur’an hal itu bukan karena pilih-pilih atau membeda-bedakan, namun hanya mengikuti Nabi, kalau Nabi mengatakan sesuatu itu afdhol, maka kami ikut mengatakan itu afdhol dan mengamalkannya. Toh juga jelas ada haditsnya. Salah satu contoh hadits yang berkaitan dengan hal itu adalah: Man qoroa surotal baqoroh tuwwija bitajin filjannah (diberi mahkota dengan mahkota di surga).
Dari Abii Said bin Al Mu’alla ra berkata: Rasulullah saw berkata kepadaku, ”Maukah aku ajarkan kepadamu surat paling unggul dalam al-Qur’an sebelum kamu keluar dari masjid?” Lalu beliau memegang tanganku dan ketika kami hendak keluar, aku bertanya, ”Ya Rasulullah, engkau berkata akan mengajarkanku surat yang paling agung dalam al-Qur’an.” beliau menjawab, ”Alhamdulillahirobbil ’aalamiin (al-Fatihah), ia adalah tujuh ayat yang dibaca pada setiap shalat, ia adalah al-Qur’an yang agung yang diberikan kepadaku.”
Terlepas dari siapapun yang membid’ahkan perihal tata cara membaca al-Qur’an, paham tidak paham, lancar atau grotal-grotal, dengan suara pelan atau keras, Khoirukum Man Ta’allamal Qur’an wa allamahu. Bahwa sebaik-baik manusia adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya. Di mana tidak ada kalimat Hasyr pada hadits tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi siapa saja yang berperan dalam proses belajar dan mengajarkan al-Qur’an termasuk Khoirukum; seperti tukang nyetak al-Qur’an, yang membangun pondok Qur’an, yang mencarikan gaji guru ngaji Qur’an, dan siapapun yang turut mendukung proses belajar mengajar al-Qur’an. Oleh karenanya jangan pernah berhenti belajar dan mengajarkannya apalagi mengamalkannya.  




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS