Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Egoisme Diri


“Beliau memiliki yang lain di daerah Boreng, itupun entah yang ke berapa.” Bisik Soian kepada Parten.
“Udah gak usah terlalu dipikir Ten.” Lanjut Soian. Itu hal yang biasa dan wajar bagi seorang laki-laki, kau harus paham itu.
”Lho, memang siapa yang mikir itu tidak wajar Soi, bahkan agama memperbolehkan itu. Terkandung dalam firmanNya lagi; matsna wa tsulasta wa ruba’. So, kenapa aku harus menganggap itu tidak wajar?” celoteh Parten enteng.
”Lha kamu mendadak bengong kayak orang ilang gitu. Udah gak usah munafik. Perempuan mana yang rela dimadu?” bantah Soian
”Terkait apa yang beliau lakukan, apapun itu, sejauh ini belum mampu menggoyahkan ke-ta’dzim-anku padanya, terlebih yang beliau lakukan adalah satu tindakan yang dibenarkan oleh agama kita.” ungkap Parten menanggapi tuduhan Soian
”Berarti kau rela juga jika suatu ketika dimadu Ten?” Ucap Soian dengan nada dan ekspresi meledek Parten
”Itulah letak keegoisanku Soi, aku percaya itu sebagai sebuah kebenaran karena datang dari kalamNya. Tapi aku tak mau jika itu terjadi padaku. Hahahaha.” tawa Parten membuncah, sebuah tawa yang lebih menggambarkan kepedihan atas keegoisan yang belum juga mampu diatasinya.
”heh?!!!” Soian sedikit heran menangkap ada keanehan di balik tawa Parten.

”Ya begitu Soi, ini hanya perumpamaan dan semoga tidak demikian, Allah yahfadz, amiin. Jika suatu ketika aku harus dihadapkan pada posisi untuk dimadu, maka aku akan lebih memilih untuk pisah dan merelakannya untuk pergi kepada perempuan lain. Itu akan seribu kali lebih baik bagi banyak pihak. Bukan karena aku mengingkari dan menolak apa yang agamaku katakan sebagai sebuah kebolehan dan kebenaran. Lebih dari itu, aku bukan manusia berhati malaikat yang bisa dengan mudah berbaik hati kepada perempuan lain yang dipilih oleh suamiku, aku bukan tipe perempuan lemah lembut yang bisa menerima itu begitu saja. Dan jika nanti suamiku memiliki anak dengan istri mudanya, aku masih ragu bahwa aku bisa menyayanginya setulus aku menyayangi dan mengasihi anak yang terlahir dari rahimku. Maka, dengan sederet rasionalisasi lain yang mengantri, entah itu pure maupun artifisial, aku memilih untuk berpisah dan membesarkan anak-anakku seorang diri. Itu akan lebih baik, karena aku yakin, Tuhan akan membuatku mampu menanggung semua; laa yukallifullah nafsan illa wus’aha. Kalau banyak perempuan rela dimadu karena dijanjikan surga di akhirat kelak, aku tak tergiur dengan itu. Entah sudah berapa lama aku tak lagi memikirkan surga atau neraka, pahala atau dosa, api jahannam atau lautan susu jannatun naim. Persoalan hidup bukan tentang itu. Ah, sudahlah Soi, terlalu nglantur mulut ini jika terus dibiarkan berceloteh. Tak usah kau hiraukan celoteh gak jelas. Semoga rahmat dan ridloNya selalu meliputi kita semua.” ungkap Parten sembari ngeloyor pergi meninggalkan Soian yang masih terdiam, bergemelut dengan pikirannya sendiri. 


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS