Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PARMIN

Dinginnya angin  subuh yang menerobos jaket tebal Parmin tak membuatnya putus asa. Ia terus mengayuh sepedanya, keliling dari rumah ke rumah untuk mengantarkan setumpuk koran kepada para pelanggan.  Meski pagi buta di saat semua mata masih terlelap, Parmin telah mencari rizki sekaligus berolahraga untuk membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan sekolah. Begitulah kegiatan rutin Parmin pasca sembahyang shubuh. Tak seperti teman-temannya yang masih asyik dengan selimut tebal sebagai penghangat tubuhnya.
Parmin memang anak yang rajin. Meski anak orang miskin ia tetap semangat untuk melanjutkan pendidikannya. Demi melanjutkan pendidikannya, apapun ia lakukan asal halal. Termasuk menjadi loper koran. Padahal, mayoritas remaja seusia Parmin malu jika harus menjadi seorang loper koran, tapi tidak dengan Parmin. Ia begitu menikmati pekerjaannya.
Sebenarnya Abah dan Uminya telah melarang Parmin untuk bekerja, mereka telah menasihatinya agar fokus pada belajar. “Le,[1] Abah dan Umimu ini masih mampu mencarikan biaya sekolah kamu. mbok ya ndak usah kerja, fokus saja untuk belajar.” Jelas pak Karyo, Abah Parmin menasihati putra semata wayangnya. “Injeh[2] Bah, pekerjaan ini tidak mengganggu belajar Parmin. Parmin menikmati semua ini. Abah dan Umi tidak usah khawatir.” Jawab Parmin dengan penuh kesopanan. “Ya sudah Le, kamu sudah besar. Umi yakin kamu sudah pandai mengatur waktu. Kalau kamu bisa menikmati itu dan ikhlas menjalaninya ya ndak apa-apa. Umi dan Abah bangga punya anak sepertimu.” Tambah Bu Mahmudah dengan mata berkaca-kaca.
 “Le, hidup di dunia ini hanya sementara, kalau dalam bahasa orang Jawa ibarat mampir ngombe[3]. Maka dari itu, segala sesuatu yang kamu lakukan harus dilandasi dengan niat ibadah, biar ndak sia-sia. Saumpomo wong poso gor entuk luwe lan ngelak thok. Paham to?”[4] begitulah pak Karyo selalu mengajari anaknya tentang hidup dan kehidupan serta bagaimana harusnya menyikapi kehidupan. Dunia dengan Kehidupan yang sering menjerumuskan manusia ke lembah hitam kelam tanpa adanya sinar yang nantinya akan membawa kepada penderitaan dunia dan akhirat. “Injeh Bah, Parmin ngerti. Terimakasih atas pelajaran hidup yang selalu Abah ajarkan pada Parmin. Insyaallah Parmin akan selalu mengingat dan berusaha melakukannya semampu Parmin.” Jawab Parmin
***
” Selamat pagi Parmin, em,,,,,” sapa Rani teman kelas Parmin dengan nafas terengah-engah
“ Selamat pagi juga Rani, ada apa? Atur dulu nafasnya, duduk dulu yuk.” Parmin menyapa Rani dengan tenang lalu mengajaknya duduk di taman dekat kelas mereka.
Pagi ini tak seperti biasanya. Awan semakin tak bersahabat. Sepertinya ia akan segera menangis membasahi bumi. Namun, bagi Rani ini adalah pagi tercerah yang pernah ia rasakan. Bunga-bunga di taman seolah bermekaran menyebarkan semerbak harum nan wangi. Akhirnya momen yang selalu dinantikan sejak kurang lebih dua tahun lalu tiba juga. Duduk berdua dengan Parmin, sang pujaan hati.
Mereka duduk di taman dekat kelas sambil menunggu bel masuk berbunyi. Setelah 15 menit terdiam membisu, Rani memberanikan diri membuka mulut. Dengan nada gugup ia mengatakan kepada Parmin bahwa ada lomba cerdas cermat antar SMA sederajat se-Jawa Bali dengan hadiah lumayan menarik. Rani mengajak Parmin untuk bergabung dalam kelompoknya. Parmin menyetujui hal ini. Mereka sepakat untuk belajar bersama usai bel pulang sekolah berbunyi. Rani sangat senang dengan keputusan Parmin, spontan ia berteriak hingga semua mata memandang ke arah mereka. Rani tersipu malu tapi Parmin menyikapinya dengan penuh ketenangan dan kewibawaan. Tak lama kemudian bel masuk pun berbunyi, Parmin dan Rani berjalan menuju kelas.
***
Le, cepat minta bantuan pada kang Sardi untuk membawa Abahmu ke rumah sakit. Ayo Le.” Pinta Bu Mahmudah menahan isak tangis.
“Assalamu’alaikum. Bulik[5], paklik Sardi dimana? Parmin mau minta tolong paklik Sardi untuk mengantar Abah ke rumah sakit.” Ucap Parmin dengan nafas terengah-engah.
Hal yang tak pernah diduga terjadi. Pak Karyo yang sehat bugar tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab yang pasti. Bu Mahmudah dan Parmin sangat terpukul. Bu Mahmudah tak lagi bisa mencucikan pakaian tetangga karena harus menunggui pak Karyo di rumah sakit. Demikian Parmin, ia harus merelakan para pelanggan korannya resah menanti kedatangannya. Seminggu sudah Parmin tidak mengayuh sepeda keliling komplek karena harus menggantikan peran Uminya sementara Abahya opname.
Sepulang sekolah, Parmin tak bisa belajar bersama mempersiapkan lomba cerdas cermatnya. Ia harus mencari pekerjaan sampingan dengan gaji lebih terjangkau untuk membiayai rumah sakit Abahnya. Meski harus menjadi kuli bangunan, Parmin menjalaninya dengan rela hati demi kesembuhan Abah tercinta.
***
Keesokan harinya saat di sekolah, dengan berat hati ia mengundurkan diri dari lomba cerdas cermat. “Ran, maaf. Aku tidak bisa fokus. Perkenalkan, ini Roni. Anak kelas B. Dia yang akan menggantikanku. Ku harap kamu paham dengan kondisiku.” Mendengar penjelasan Parmin, seakan disambar petir. Rani pergi tanpa sepatah kata terlontar dari mulutnya.
Parmin berjalan menyusuri lorong sekolah dengan pandangan kosong. Kondisi Abahnya semakin parah. Pupus sudah harapannya untuk ikut lomba yang dinantikan. Yang paling menyakitkan, setiap hari ia harus melihat tubuh Abahnya yang pucat pasi, tak berdaya terbaring di atas kasur. Air mata Umi yang terus mengalir diiringi do’a tiada henti membuat hatinya semakin perih bagai disayat mata pisau yang tajam.
Tak pernah ia duga bahwa Abahnya terkena kanker otak stadium empat. Selama ini Abahnya tak pernah mengeluh. Ia selalu tersenyum menghadapi kerasnya kehidupan. Dan Parmin, tak mampu berbuat apa-apa. Terpaksa ia harus menanggalkan seragam sekolah dan digantikan dengan seragam pabrik untuk mencari biaya operasi Abahnya.
***
“Umi, lihat apa yang Parmin bawa. Parmin mendapat rizki Umi. Kita bisa membiayai operasi Abah. Abah akan segera sembuh Umi.” Ucap Parmin dengan linangan air mata bahagia. Bu Mahmudah seharusnya menyambut kabar ini dengan senyum bahagia. Namun, anehnya ia memeluk erat tubuh Parmin yang kumel lagi berkucuran keringat. Isak tangis terdengar semakin menjadi. Parmin bingung. “Umi, kenapa Umi menangis. Kenapa Umi?” Tanya Parmin dengan nada sedikit tinggi. Akan tetapi Bu Mahmudah tak berucap meski hanya satu kata.
“Parmin, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, hidup dan mati manusia adalah rahasiaNya.” Jelas Dokter saat keluar dari ruangan pak Karyo. Lutut Parmin lemas, tubuhnya bagai tak bertulang. Perlahan ia menghampiri jasad Abahnya yang terbaring tak bernyawa. Air mata tak lagi dapat dibendung. Ia peluk erat jasad Abahnya. Lengkap sudah penderitaannya.
***
Le, bangun. Sudah adzan Subuh. Segera ambil air wudlu. Nanti para pelangganmu complain kalau kamu telat mengantarkan Koran-koran mereka.” Terdengar sayup-sayup suara Abahnya. Spontan Parmin terbangun dan memeluk Abahnya. Pak Karyo bingung melihat tingkah Parmin yang sedikit aneh pagi ini. Namun ia hanya tersenyum dan membalas pelukan anak tersayangnya.
-the end-



[1]       Panggilan orang tua terhadap anaknya dalam bahasa Jawa
[2]       Jawaban atas sebuah pertanyaan, menunjukkan persetujuan dari pihak kedua
[3]       Istilah Jawa bermakna Mampir sekedar untuk minum
[4]       Seumpama orang berpuasa hanya mendapat rasa lapar dan haus saja. paham kan?
[5]       Panggilan terhadap adik dari bapak atau ibu. Bisa juga sapaan akrab terhadap tetangga di desa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Lelah

kenapa kau tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku padamu,
bagaimana tersiksanya aku karena bayangmu yang terus mengiringi setiap langkahku.
jika ini terus berlanjut aku bisa gila.
aku tlah mencoba berbagai cara untuk melupakanmu.
telah kuhapus nomormu dari Hpq,
telah kubuang semua yang berkaitan dengan dirimu,
telah kucoba untuk beralih dan berpaling ke lain hati.
ku tak lagi sms untuk sekedar bertanya apa kabarmu? Apakah kau baik?
Kau tak tau betapa khawatirnya aku jika terjadi sesuatu padamu.
Tak kuhubungi kau dalam dunia nyata,
tapi entah kenapa, kau masih juga hadir di mimpiku.
Mengganggu tidur nyenyakku.
Di tengah canda tawaku yang begitu lepas, tiba-tiba bayangmu hadir dengan sesungging senyum yang sangat kurindukan.
Dalam sujudku, ku mohon padaNya agar menghapus ingatanku akanmu.
Agar batinku tak lagi tersiksa seperti ini.
Kenapa kau lakukan ini padaku?
Tak taukah kau betapa besar cintaku padamu?
Apapun kan kulakukan agar kau bahagia.
tapi sepertinya aku telah lelah, lelah dengan semua.
Kurasa kini kau telah bahagia dan aku tak ingin mengusik kebahagiaanmu.
Kini aku akan pergi jauh dengan membawa luka hati ini.
Selamat tinggal, semoga kau bahagia.
Pintaku, jangan biarkan bayangmu terus menghantuiku.
Biarkan aku bahagia tanpamu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bernegosiasi dengan Ego

Seringkali kudengar teman-temanku berkata, “aduh, aku bingung. Mau cerita apa ni? Apa yang mau ditulis?” dan seterusnya ketika mengerjakan tugas maharoh kitabah atau sejenisnya. Tidak punya ide menarik, bingung mau memulai dari mana, dan bagaimana menyusun kata-kata yang baik selalu menjadi alasan untuk tidak mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan. Padahal, jika kita mau berpikir dan mempunyai keinginan untuk mengerjakannya niscaya pasti bisa. Pada hakikatnya, semua berawal dari rasa malas yang menguasai diri. Jika kita bertanya pada diri, “Mana yang kau pilih, mengerjakan tugas atau nonton sama teman-teman?” Maka sudah barang tentu jawabannya nonton bareng teman-teman. Karena hakikatnya, ego setiap insan lebih memilih untuk bersenang-senang daripada harus susah-susah memikirkan tugas yang bertujuan mendidik.
Inilah yang seringkali tidak kita pahami. Kiranya perlu kita pahami bersama teori psikoanalisa Sigmund Freud, dimana ia membagi diri manusia ke dalam tiga hal, yakni: id, ego dan super ego. Dimana id merupakan hasrat hati yang cenderung mengarah kepada kesenangan. Ia bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego, mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia dan super ego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntutan moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Oleh karena itu, kita harus pandai dalam mengolah dan memanagenya sehingga ketiganya dapat berimbang dan menghasilkan output yang memuaskan semua pihak.
Memang, terkadang kita perlu mendengarkan kehendak hati, namun bukan berarti menurutinya secara cuma-cuma. Harus ada negosiasi yang baik antara hati dengan berbagai aspek yang lain seperti, agama, sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan, guna tercapainya kesesuaian dalam segala lini. Dengan begitu tidak akan terjadi bentrok antara satu aspek dengan yang lain. Dan ketika kita telah melakukannya, berarti kita telah melatih diri untuk memanage ego, bernegosiasi dengannya dengan tanpa mengesampingkan kehendak hati. Jika ini terus dilakukan, akan semakin mengasah ketajaman dan kepekaan diri terhadap setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Dan kita akan mengalami kemudahan dalam menghadapi setiap masalah.
Sebagai contoh agar lebih mudah dalam memahaminya saya hadirkan sebuah contoh yang sering terjadi pada diri saya sendiri. Biasanya di pagi hari ketika bangun dari tidur, rasa malas untuk bangun merajai diri. Hati berhasrat untuk melanjutkan tidur. Ketika mengalami hal seperti ini, oke kita boleh mendengar kehendak hati untuk tetap melanjutkan tidur, akan tetapi kita juga harus berpikir, jika tetap melanjutkan tidur tidakkah semakin menyulitkan diri? Bukankah banyak hal lebih penting yang sebenarnya bisa kita selesaikan dibanding kalau kita melanjutkan tidur? Dan seandainya kita melanjutkan tidur, bukankah kewajiban semakin menumpuk? Dan tidak menutup kemungkinan akan banyak kewajiban yang terabaikan karenanya. Jika demikian, memaksa diri untuk bangun adalah pilihan yang tepat. Toh, bukankah kita punya waktu yang cukup untuk istirahat? Selain itu, Tuhan menganugerahi kita hidup bukan hanya untuk tidur bukan?
Dari peristiwa tersebut kiranya pembaca dapat mengambil kesimpulan tersendiri. Dan mungkin jika ingin menyanggah, monggo. Kita sama-sama belajar.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS