“Beliau
memiliki yang lain di daerah Boreng, itupun entah yang ke berapa.” Bisik
Soian kepada Parten.
“Udah gak usah terlalu dipikir
Ten.” Lanjut Soian. Itu hal yang biasa dan wajar bagi seorang laki-laki, kau
harus paham itu.
”Lho, memang siapa yang mikir itu
tidak wajar Soi, bahkan agama memperbolehkan itu. Terkandung dalam firmanNya
lagi; matsna wa tsulasta wa ruba’. So, kenapa aku harus menganggap itu tidak
wajar?” celoteh Parten enteng.
”Lha kamu mendadak bengong kayak
orang ilang gitu. Udah gak usah munafik. Perempuan mana yang rela dimadu?”
bantah Soian
”Terkait apa yang beliau lakukan,
apapun itu, sejauh ini belum mampu menggoyahkan ke-ta’dzim-anku padanya, terlebih
yang beliau lakukan adalah satu tindakan yang dibenarkan oleh agama kita.” ungkap
Parten menanggapi tuduhan Soian
”Berarti kau rela juga jika suatu
ketika dimadu Ten?” Ucap Soian dengan nada dan ekspresi meledek Parten
”Itulah letak keegoisanku Soi, aku
percaya itu sebagai sebuah kebenaran karena datang dari kalamNya. Tapi aku tak
mau jika itu terjadi padaku. Hahahaha.” tawa Parten membuncah, sebuah tawa yang
lebih menggambarkan kepedihan atas keegoisan yang belum juga mampu diatasinya.
”heh?!!!” Soian sedikit heran
menangkap ada keanehan di balik tawa Parten.
”Ya begitu Soi, ini hanya
perumpamaan dan semoga tidak demikian, Allah yahfadz, amiin. Jika
suatu ketika aku harus dihadapkan pada posisi untuk dimadu, maka aku akan lebih
memilih untuk pisah dan merelakannya untuk pergi kepada perempuan lain. Itu
akan seribu kali lebih baik bagi banyak pihak. Bukan karena aku mengingkari dan
menolak apa yang agamaku katakan sebagai sebuah kebolehan dan kebenaran. Lebih
dari itu, aku bukan manusia berhati malaikat yang bisa dengan mudah berbaik
hati kepada perempuan lain yang dipilih oleh suamiku, aku bukan tipe perempuan
lemah lembut yang bisa menerima itu begitu saja. Dan jika nanti suamiku
memiliki anak dengan istri mudanya, aku masih ragu bahwa aku bisa menyayanginya
setulus aku menyayangi dan mengasihi anak yang terlahir dari rahimku. Maka,
dengan sederet rasionalisasi lain yang mengantri, entah itu pure maupun
artifisial, aku memilih untuk berpisah dan membesarkan anak-anakku seorang
diri. Itu akan lebih baik, karena aku yakin, Tuhan akan membuatku mampu
menanggung semua; laa yukallifullah nafsan illa wus’aha. Kalau banyak
perempuan rela dimadu karena dijanjikan surga di akhirat kelak, aku tak tergiur
dengan itu. Entah sudah berapa lama aku tak lagi memikirkan surga atau neraka,
pahala atau dosa, api jahannam atau lautan susu jannatun naim. Persoalan
hidup bukan tentang itu. Ah, sudahlah Soi, terlalu nglantur mulut ini jika
terus dibiarkan berceloteh. Tak usah kau hiraukan celoteh gak jelas. Semoga
rahmat dan ridloNya selalu meliputi kita semua.” ungkap Parten sembari ngeloyor
pergi meninggalkan Soian yang masih terdiam, bergemelut dengan pikirannya
sendiri.