Anak-anakku,
Salamullah wa Rohmatuhu ‘alaikum..... amiin....
Saat
aku menuliskan kisah ini, kau masih dalam wujud Ruh di alam Malakut Nak.
Kau bahkan belum bersemayam dalam rahim ibumu ini. Tapi tak apa, aku selalu
berdo’a padaNya untuk suatu ketika mempertemukan kita dan mengumpulkan kita
dalam momen yang indah. Amiin.
Sehari
ini, ibu sedang berada di beberapa tempat. Sebelum itu, semalam, Ibu menemani
ayahmu mencari songkok dan celana hitam. Ibu tak jadi mendatangi undangan dari
UKM LKP2M dan juga dari teman2 Pesantren Global di Wendit, karena ayahmu esok
pagi pukul 02.30 WIB dini hari, harus berangkat ke Kota Seberang; Surabaya untuk
menunaikan amanah yang diterimanya. Ibu menyiapkan bekal untuk perjalanannya. Berat
rasanya melihat ayahmu bepergian di pagi buta, di tengah dingin yang menyergap.
Ingin rasanya ibu pergi bersamanya, memberinya pelukan hangat, sembari
mendendangkan lagu-lagu untuk menghiburnya. Namun, inilah kehidupan Nak. Kehidupan
riil yang baru saja kami tapaki terhitung sejak akad nikah Ayahmu ikrarkan di
depan wali, penghulu dan para saksi. Sebuah realitas kehidupan yang membawa
kami pada sebuah sikap dewasa dan kemandirian hidup. Kini, kami mulai menikmati
kehidupan kami, saling mendukung satu sama lain, saling membantu dan saling
memberi. Menyatukan perbedaan-perbedaan kecil yang sering muncul. Kami mulai
saling mengenal satu sama lain hingga kami merasa benar-benar saling mencintai
dan menyayangi. Dengan kasih sayang dan perjuangan kami akan memulai membangun
pondasi rumah tangga yang kokoh anak-anakku.
Tanggung
jawab ada di depan mata. Kami telah menjalani kehidupan rumah tangga. Masa depan
berada di tangan kami berdua, kami harus menyelaraskan takdir, mencari nafkah
untuk mempertahankan hidup, mencari bekal sebagai sarana ibadah terhadapNya. Kami
tengah mencoba memahami di mana maqom kami. Kami sedang berada pada maqom asbab
bukan tajrid, maka segala hal yang kami jalani, seberat apapun, harus kami
terima dengan ikhlas, kami harus bekerja keras dan saling mempercayai serta
mendukung satu sama lain. Maka melepas ayahmu untuk pergi mencari nafkah nun
jauh di sana pun, ibu melakukannya. Sementara ibu akan pula tetap di sini, di kota
dingin Malang untuk menjalani amanah pekerjaan yang ibu terima. Ibu mengiringi
keberangkatan ayahmu dengan seribu do’a. Dalam setiap hembus napas, ibu sebut
asmaNya dan memohon padaNya untuk selalu menjaga ayahmu dari segala bala’ dan
marabahaya.
Pagi
hari, sebagaimana rutinitas, ibu berangkat bekerja dengan ditemani elang yang
selalu setia mengantar ibu kemanapun ibu mau. Tapi Nak, hari ini ibu tidak
bekerja di kantor. Hari ini ibu bertugas melepas mahasiswa-mahasiswi PKL di
Thailand. Ibu bersama rombongan menuju Bandara Juanda Surabaya untuk mengantar
keberangkatan mereka. Subhanallah, Allah selalu mempermudah hambaNya. Ibu diperbolehkan
untuk turun di Surabaya dan pergi menemani ayahmu menyelesaikan administrasi keguruan
sekalian mencari tempat tinggal di surabaya.
Pukul
11.30 WIB, ibu bersama rombongan sampai di bandara Juanda Surabaya. Kami melepas
para mahasiswa beserta DPL untuk terbang menuju Negeri dengan berbagai julukan; Gajah Putih, Seribu
Pagoda , Tanah Merdeka dan Lumbung Padi
Asia Tenggara. Usai pelepasan, kami (tim pengantar) melakukan wisata religi. Tempat
pertama yang kami kunjungi adalah sebuah makam terkenal di surabaya. Mungkin suatu
ketika nanti kau juga akan mampir ke sini Nak. Makam, jangan kau anggap ia
sebagai tempat menyeramkan atau keramat. Kau tahu Nak? Makam adalah tempat
persemayaman terakhir manusia di dunia. Batas antara alam dunia dan akhirat. Ia
bernama alam Barzah. Di tempat inilah manusia benar-benar sendiri, tiada kawan,
lawan, tetangga, bahkan sanak keluarga. Harta, tahta, warisan, tak ada
secuilpun dari dunia yang dapat dibawa apalagi memberi manfaat padanya. Hanya selembar
kain kafan tak berharga yang membungkus jasadnya. Ia dibaringkan dalam sebuah
lubang sempit nan gelap. Ia ditinggalkan sendirian, tak ada anak-istri-suami
atau ayah ibu yang menemani. Hanya amal satu-satunya yang selalu setia
menemaninya terbujur kaku. Toh tak akan lama kain kafan dan jasad akan membusuk
dimakan binatang-binatang merayap. Maka dunia seisinya tak lagi memiliki arti.
Nak,
walau jasad telah hancur, bukan berarti ruh manusia turut hancur. Ia tetap hidup
dalam wujud yang berbeda. Di sinilah, di kuburan ini, kehidupan babak keempat
dimulai. Para malaikat utusan Tuhan berduyun-duyun mendatangi mayyituuun
dengan segudang pertanyaan. Bagi mereka yang timbangan amal baiknya lebih berat
akan dengan mudah melalui peristiwa tanya-jawab alam kubur dan dipersilahkan
dengan segala hormat untuk beristirahat senyaman mungkin hingga terompet yaum
al-ba’tsi berdendang. Mereka ini tak akan merasa bosan walau seribu tahun
lamanya dalam peristirahatan alam barzakh. Sebaliknya, bagi mereka yang
timbangan amal buruknya lebih berat, mereka akan sulit melampaui momen itu. Momen
yang bagi golongan pertama sangat indah menakjubkan berubah menjadi momen yang
menyeramkan, menyakitkan dan sangat menderita oleh adzab siksaan yang pedih. Mereka
akan terus dan terus disiksa hingga terompet yaum al-ba’tsi ditiupkan. Laa
haula wa laa quuwwata illa billah.... oleh karenanya Nak, belajarlah dengan
baik tentang hidup dan kehidupan ini. Agar kau benar-benar memahami sangkan
paraning dumadi. Di sini, di makam waliyullah Sunan Ampel Surabaya; seorang
penyebar ajaran Islam di Tanah Jawa, sejuta do’a ibu panjatkan Nak. Agar kelak,
anak-cucu kami selalu dituntun dan ditunjukkan jalan menuju padaNya. Meneladani
akhlak dan perjuangan para waliyullah.... meski Laa ya’rif al’wali illal
wali, tapi wali yang disematkan untuk walisongo adalah kesepakatan manusia
Nak, dan belum ada yang mampu menentang pemberian itu secara ilmiah. Untuk sejarah
walisongo, nanti kau dapat baca buku berharga “ATLAS WALISONGO” karya KH.Ng
Agus Sunyoto, agar kau tahu dan paham dengan baik, tidak seperti ibumu ini.
Dari
makam Ampel, kami melanjutkan perjalanan ke makam Mbah Yai Kholil Bangkalan –
Madura; guru dari Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Betapa
bahagianya Ibu Nak, karena ini adalah kali pertama ibumu akan ke sana. Di tengah
perjalanan, ayahmu menelpon agar ibu tak usah ikut ke Bangkalan karena takut
kemalaman. Ayahmu meminta ibu turun dan akan dijemput. Maka ku titipkan salamku
untuk Mbah Yai Kholil kepada teman-teman dengan harapan suatu ketika nanti Ibu
akan bisa berziarah ke sana. Amiin...
Ibu
turun di ujung jembatan Suramadu, mampir di warungkopi pinggir jalan menunggu
ayahmu menjemput. Ibu nikmati hembusan angin sore dari air laut Suramadu, lalu
lalang kendaraan yang tak juga ada hentinya. Lalu ibu keluarkan sebuah pulpen
dan lembaran-lembaran kertas yang ada. Ibu tuliskan kisah ini, agar kau tahu
tentang Ibu dan Ayahmu Nak, agar kau bisa mengambil hikmah dari perjalanan
hidup kami untuk kau jadikan pelajaran bagi hidupmu nanti. Jalani hidupmu
dengan baik Nak. Kami mencintaimu. Sudah dulu ya... ayahmu sudah sampai. Kami harus
melanjutkan perjalanan......
Suramadu,
09 Januari 2015
16:33
WIB