Perbedaan di dunia ini merupakan
hal yang lumrah, bahkan rahmat bagi alam semesta. Meski demikian, masih saja
ada sebagian dari manusia yang mengkafirkan satu sama lain, membid’ahkan
amalan-amalan saudara seimannya dengan tanpa melalui tabayun terlebih dahulu.
Sehingga tak jarang hal tersebut memicu terjadinya perselisihan dan permusuhan
sesama saudara muslim. Padahal, jika mau sedikit lebih terbuka alias tidak one
open minded, duduk bersama, bermusyawarah lantas membahasnya secara
keilmuan, maka tidak akan terjadi tindak anarkis oleh sebab perbedaan-perbedaan
kecil yang hakikatnya semua memiliki dalil dan rasionalitas tersendiri.
Sebagai misal, sebagian orang
beranggapan bahwa mendorong orang awam untuk rajin membaca al-Qur’an tanpa
mengerti dan memahami maknanya merupakan perbuatan yang sia-sia (tidak
memperoleh pahala), menghafal al-Qur’an tanpa memahami dan mendalami maknanya
juga salah (”tak ada bedanya dengan kaset murottal” kata mereka).
Sebagian mereka juga memiliki pandangan bahwa kebiasaan memilah dan memilih
ayat atau surat tertentu dalam al-Qur’an untuk kemudian dijadikan amalan yang
sering diamalkan dalam kehidupan sehari-hari juga merupakan satu perbuatan
bid’ah yang tidak benar dengan dalih ”al-Qur’an sama kok dibeda-bedakan??” Lalu kegiatan khataman al-Qur’an, tadarus
dengan mengeraskan bacaan al-Qur’an juga dinilai sebagai sesuatu yang salah. Jika
segala hal dinilai salah dan dihukumi dosa tanpa mau membuka diri terhadap
pandangan lain, maka tindak anarkisme, saling ejek, dan saling hina tidak akan
pernah selesai.
Sebelum mengkafirkan, menyalahkan
dan membid’ahkan amalan sesama saudara seiman, hendaknya kita memperhatikan
beberapa hadits Nabi berikut: ”Iqrouu al qur’ana fainnahu ya’ti yaumal
qiyamati syafii’an li ashabihi” dalam hadits tersebut yang dimaksud ”Ashabul
Qur’an” yakni ahli al-Qur’an. Dan dalam hadits tersebut pula, untuk bertitle Ashabul
Qur’an seseorang tidak harus menjadi ahli tafsir terlebih dahulu, tidak harus
tahu maknanya. Sebaliknya, ahli membaca saja sudah termasuk Ashabul qur’an.
Karena secara lafdzi telah jelas bagaimana hadits tersebut diawali dengan
kalimat ”iqrouu” yang artinya ”bacalah!” dan diakhiri dengan kalimat
”Liashabihi” dimana mereka yang membaca al-Qur’an secara otomatis termasuk
Ashabul Qur’an dengan atau tanpa memahami makna dan tafsirnya. Dan mereka
(orang-orang yang membaca al-Qur’an sekalipun tidak mengerti dan memahami
maknanya) tetap berhak mendapat syafaat di hari kiamat kelak.
Hadits-hadits
lain tentang membaca al-Qur’an pun demikian, tidak ada satu pun yang
menjelaskan bahwa membaca al-Qur’an itu adalah perbuatan bid’ah dan berdosa.
Sebaliknya, siapa yang membaca satu huruf saja dari al-Qur’an, baginya pahala.
Sebagaimana hadits berikut: Man qoro’a harfan min kitabillah falahu hasanatun,
wal hasanatu bi ’asri amtsaliha, la aqul
alif lam mim harfun wa ma’lum ladaina anna alif faqod la ma’na laha wa la
na’rifu ma’naha, wa lam faqod la ma’na laha wa la na’rifu ma’naha, fabihadza
nastadillu ala anna man qoroal qur’an wa lam ya’rif ma’nahu kana lahu hasanatun.
Di samping itu, ada sebagian orang
yang ketika mendengar seseorang ngaji al-Qur’an dengan cepat dan lancar mereka
menghinanya dengan berkata: ”tak ada gunanya lancar kalau tak paham arti dan
maknanya”, lalu jika ada yang mengaji pelan dan agak kesulitan alias grotal-gratul
juga dihina, ”ini ngaji kok tajwidnya salah semua, makhorijul huruf juga
tidak diperhatikan dengan baik, kayak gitu masih saja ngaji diperdengarkan
lewat speaker”. Tindakan sinisme yang berlebih demikian tidak lain dan tidak
bukan sebab saking bencinya mereka dengan tradisi tadarus. Sehingga semua serba
salah dan selalu dinilai salah, lancar dihina, lambat (grotal-gratul)
juga dihina, padahal Kanjeng Nabi Muhammad saw kalau ada orang ngaji, lancar
dipuji, lamban juga dipuji. Kita yang hanya manusia biasa, mengapa begitu mahal
terhadap orang awam? Toh yang memberikan pahala atau tidaknya bukanlah kita,
melainkan Allah swt.
Dalam sebuah hadits hal tersebut
telah dijelaskan:
Alladzi yaqro al-Qur’ana
wa huwa maahirun bihi ma’a safarotil kiromil baroroh. Walladzi yaqro al-qur’ana wa yuta’ti’ fihi wa huwa alahi sab
lahu ajron
Bahwa siapa yang membaca al-Qur’an
dan ia pandai maka derajatnya sama dengan malaikat-malaikat yang mulia dan
taat, dan siapa yang membaca al-Qur’an sedang ia lamban, maka ia mendapat
pahala dua kali lipat; (yakni pahala membaca dan pahala berjuang). Hal ini
sebagaimana orang yang berijtihad. Apabila benar, ia mendapat dua pahala dan
jika salah maka baginya satu pahala. Dan tidak ada vonis bahwa yang salah akan masuk
neraka.
Selesai permasalahan tahu dan
tidak tahu arti, makna dan tafsir, masih saja ada sebagian mereka yang
membid’ahkan membaca al-Qur’an dengan keras. Jika yang dimaksud adalah keras
yang mengganggu sehingga menimbulkan huru-hara besar, madlorot sosial, hal itu masih
dapat ditolerir. Namun, selama membaca al-Qur’an dengan keras itu berada pada
level wajar dan tidak mengganggu, seharusnya hal itu justru bagus dan mendapat
tambahan pahala. Bagaimana bisa? Tentu! Karena man istama’a ila ayatin min
kitabillah kataballah lahu hasanatan mudho’afan (Allah mencatat
baginya kebaikan yang berlipat ganda). Hal itu berarti yang mengeraskan bacaan
juga dapat pahala, karena tidak mungkin orang lain mendengarkan bacaan
al-Qur’an kalau membacanya perlahan.
Lalu tentang membaca ayat dan surat tertentu dalam al-Qur’an
hal itu bukan karena pilih-pilih atau membeda-bedakan, namun hanya mengikuti
Nabi, kalau Nabi mengatakan sesuatu itu afdhol, maka kami ikut mengatakan itu
afdhol dan mengamalkannya. Toh juga jelas ada haditsnya. Salah satu contoh
hadits yang berkaitan dengan hal itu adalah: Man qoroa surotal baqoroh
tuwwija bitajin filjannah (diberi mahkota dengan mahkota di surga).
Dari Abii Said bin Al Mu’alla ra berkata: Rasulullah saw
berkata kepadaku, ”Maukah aku ajarkan kepadamu surat paling unggul dalam
al-Qur’an sebelum kamu keluar dari masjid?” Lalu beliau memegang tanganku dan
ketika kami hendak keluar, aku bertanya, ”Ya Rasulullah, engkau berkata akan
mengajarkanku surat yang paling agung dalam al-Qur’an.” beliau menjawab,
”Alhamdulillahirobbil ’aalamiin (al-Fatihah), ia adalah tujuh ayat yang dibaca
pada setiap shalat, ia adalah al-Qur’an yang agung yang diberikan kepadaku.”
Terlepas dari siapapun yang membid’ahkan perihal tata
cara membaca al-Qur’an, paham tidak paham, lancar atau grotal-grotal, dengan
suara pelan atau keras, Khoirukum Man Ta’allamal Qur’an wa allamahu. Bahwa
sebaik-baik manusia adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya. Di mana
tidak ada kalimat Hasyr pada hadits tersebut, sehingga tidak menutup
kemungkinan bagi siapa saja yang berperan dalam proses belajar dan mengajarkan
al-Qur’an termasuk Khoirukum; seperti tukang nyetak al-Qur’an, yang
membangun pondok Qur’an, yang mencarikan gaji guru ngaji Qur’an, dan siapapun
yang turut mendukung proses belajar mengajar al-Qur’an. Oleh karenanya jangan
pernah berhenti belajar dan mengajarkannya apalagi mengamalkannya.