“Saat ini, kita sedang berada di era yang memiliki beragam nama. Era globalisasi, era pascamodern, era neoliberalisme, era IT, dan era kegilaan atau zaman edan.” Demikian Prof. Doktor Ayu Sutarto, budayawan asal Jember ini mengawali pembicaraannya dalam Kuliah Tamu di fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maliki Malang dengan tema Sastra dan Budaya; Antara Peluang dan Tantangan di Era Global. “Di zaman edan ini, melu edan ora tahan tapi nek ora melu edan ora keduman.” Lanjut beliau diiringi dengan gelegar tawa peserta kuliah tamu yang membludak. Kuliah tamu ini dilaksanakan pada Sabtu, 19 Maret 2011 lalu.
Sastra dan budaya di zaman sekarang telah terkikis sedikit demi sedikit. Peminatnya pun semakin mengalami degradasi. Mayoritas mahasiswa jurusan sastra budaya ragu dan bimbang terhadap masa depan mereka. Karena di era yang semakin maju ini, arah dan masa depan jurusan sastra budaya dianggap tidak jelas serta tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sehingga perlu adanya pelurusan pemahaman mahasiswa sastra budaya ini. Sebagai mahasiswa jurusan sastra budaya harusnya memiliki optimisme yang tinggi karena hakikatnya mereka adalah aset yang berperan penting dalam mempertahankan budaya kita yang kian hari kian luntur dan hampir sirna. Padahal, Indonesia adalah Negara yang kaya akan budaya. Terutama Jawa.
Budaya Jawa yang selalu mendendangkan lagu-lagu rakyat, mendongengkan cerita rakyat sebagai pengantar tidur dan permainan tradisional yang menjadi hiburan anak-anak seperti egrang, dakon, dam-daman, obak odor dan lain sebagainya kini tinggal kenangan. Padahal, budaya tersebut mengajari kita banyak hal. Dalam permainan misalnya, anak-anak diajari agar jujur dan tidak curang dalam bermain. Orang yang curang akan dijauhi oleh teman-temannya. Pelajaran yang sangat natural ini akan selalu mereka ingat sampai mereka dewasa. Siapa yang kalah tidak boleh kecewa. Sehingga ketika besar, lalu mereka kalah dalam suatu hal itu tidak membuat mereka stres ataupun gila sebagaimana kebanyakan orang di zaman sekarang. Namun sangat disayangkan, semua telah digantikan dengan acara-acara televisi yang mayoritas acaranya didominasi dengan acara yang tidak mendidik sama sekali. Belum lagi permainan berbasis IT yang terus bermunculan. Yang kesemuanya telah meracuni otak remaja Indonesia terutama anak-anak.
Budaya Jawa yang mengandung berbagai pelajaran tersingkirkan oleh budaya barat yang semakin merugikan. Dengan kemajuan IT yang terus melaju kencang tak terelakkan, anak-anak yang dahulunya dengan senang hati membantu orangtuanya di sawah, kini tak lagi ada. Mereka lebih memilih duduk manis menonton TV atau di depan internet mengakses berbagai game yang diinginkannya. Tidak jarang dari mereka yang turut aktif dalam akses situs-situs porno yang disediakan oleh teknologi ini. Terlebih tanpa adanya pengawasan ketat dari orang tua. Sebagai orang Indonesia, akankah kita tinggal diam menyaksikan budaya kita yang terus diinjak-injak? Tentu tidak. Ini menjadi tugas kita bersama, terutama mahasiswa pecinta sastra dan budaya.
0 komentar:
Posting Komentar