“Jadi Wan, kita tak
bisa serta merta pergi begitu saja. Kita masih juga harus memikirkan ini ke
depannya. Setidaknya sampai kondisi stabil. Gimana menurutmu?” tanya Angin
mencoba mendapat dukungan dari Awan.
“Oe!!! Sadar boy!”
teriak Angin sembari menepuk bahu Awan. Aku nyrocos dari tadi bukannya
didengarkan malah ditinggal berkhayal… sialan kau Wan! Angin melanjutkan.
Sedang Awan hanya nyengir dengan wajah datar,
tapres.
Sepertinya Awan
sedang tak ingin menanggapi sahabatnya. Ia ingin menikmati belaian lembut
semilir angin malam itu, dengan menengadahkan muka ke ketinggian langit, Awan
merebahkan diri, membiarkan tubuhnya menyatu dengan tanah, memandangi
gemerlapan bintang yang terus berkedip-kedip seolah mengajaknya berbincang. Dan
Angin membiarkan sahabatnya itu menikmati kondisinya. Ia pun turut merebahkan
badannya di samping sahabat baiknya.
“Maulaya Sholli wa
sallim daaiman abadaa, ‘ala habibika khoiril kholqi kullihimi…..” sayup-sayup
terlantunkan sholawat Nabi dari mulut Awan. Matanya terpejam, ia tarik napas
perlahan dan dikeluarkannya, berkali-kali ia mengulangi, berganti-ganti
sholawat yang dilantunkannya. Tanpa sadar Angin pun turut mengikuti apa yang
dilakukan Awan. Sepertinya mereka tengah berkonsentrasi untuk mengolah rasa dan
potensi dalam diri mereka. Merasakan bagaimana darah mengalir melalui pembuluh,
bagaimana jantung berdetak perlahan dan kadang terlampau cepat, bagaimana
tulang rusuk terangkat kala menghirup dan kembali kendor kala napas dilepas. Mereka
tampik segala pikiran yang melintas tiba-tiba. Menghindarinya sebisa mungkin,
mencapai satu titik konsentrasi hanya pada rasa. Larut, larut dan semakin
larut. Kedua sahabat itu menikmati rasa yang rasa. Hingga keduanya merasakan
betapa segala yang ada dalam dirinya bergerak dengan sendirinya, tanpa kehendak
atau perintah dari dirinya untuk melakukan itu.
Satu jam kiranya
telah berlalu, keduanya membuka mata perlahan. Menebarkan pandang ke segala
penjuru. Menatap ilalang yang bergoyang bersama hembusan angin malam yang semilir
menyejukkan. Serempak mereka menarik napas dan melepaskannya diiringi sebuah
teriakan…. Aaaaaakkkkhhhh!!!!
“Puas ya Ang… badan
terasa lebih ringan. Betapa kita bukan apa dan siapa.” Celetuk Awan tiba-tiba.
Dan Angin mengangkat
kedua bahunya cuek, seolah ingin mengatakan, “Emang enak dikacangin!!”
Awan yang memahami
sikap sahabatnya spontan menepuk bahu Angin, “Oke, Sorry. Tadi lagi konsentrasi
Boy.” Ucap Awan mencairkan suasana. Dan keduanya pun tertawa sembari beranjak
meninggalkan halaman pesantren. ----- *** ---- *** ---- *** ----
0 komentar:
Posting Komentar