Nyatanya hidup memang dinamis.
Bumi terus berputar. Matahari, bulan, bintang, langit dan alam semesta terus
bergerak berdasarkan siklusnya. Mereka menjalani setiap detik penuh tanggung
jawab, tanpa mau peduli apakah manusia selaku mikrokosmos turut berdinamisasi
atau tidak. Karena masing-masing telah memiliki jalannya sendiri tanpa harus
saling ngricuki.
Manusia, satu-satunya makhluk
yang dibekali dengan hati dan akal untuk berpikir serta mampu membedakan yang
baik dan buruk, yang harus dilakukan dan ditinggalkan, seringkali bersikap
manja. Di kala menghadapi persoalan pelik, tak jarang ia mudah berputus asa,
merasa seolah dirinya sendiri yang tengah menangis darah, paling tersudut,
paling menderita dan seterusnya. Padahal, andai ia mau menengok, melihat
sekitar dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang disaksikan, sejujurnya
ia tahu bahwa setiap kepala memiliki masalah dengan corak yang berbeda
tentunya. Dan jika ia mau menghadapinya dan tak lari dari kenyataan, ia pasti
mampu berdiri tegap, dan berkata, “Hei masalah, aku lebih hebat darimu! Dan aku
akan menakhlukkanmu!”
Dalam hal ini, perlu pula diingat
bahwa kata hanya sebatas kata tanpa realisasi, implementasi, dan aktualisasi
hingga terlahir tindakan-tindakan konkret dari tekad yang telah mewujud menjadi
kata-kata. Dari dinamisasi inilah sesungguhnya dapat kita sadari bahwa
bahagia-derita, suka-duka, susah-senang, tangis-tawa, akan terus bergulir. Dan kalau boleh berpendapat
lagi, bahwa semua hanya akan bermuara pada satu, karena derita, duka, susah dan
tangis ibarat gelap, jahat dan benci saat disandingkan dengan terang, baik dan
cinta. (Terlintas teori Albert Einstein & Empedokles).
0 komentar:
Posting Komentar