Dinginnya angin subuh yang menerobos jaket tebal Parmin tak membuatnya putus asa. Ia terus mengayuh sepedanya, keliling dari rumah ke rumah untuk mengantarkan setumpuk koran kepada para pelanggan. Meski pagi buta di saat semua mata masih terlelap, Parmin telah mencari rizki sekaligus berolahraga untuk membantu orang tuanya memenuhi kebutuhan sekolah. Begitulah kegiatan rutin Parmin pasca sembahyang shubuh. Tak seperti teman-temannya yang masih asyik dengan selimut tebal sebagai penghangat tubuhnya.
Parmin memang anak yang rajin. Meski anak orang miskin ia tetap semangat untuk melanjutkan pendidikannya. Demi melanjutkan pendidikannya, apapun ia lakukan asal halal. Termasuk menjadi loper koran. Padahal, mayoritas remaja seusia Parmin malu jika harus menjadi seorang loper koran, tapi tidak dengan Parmin. Ia begitu menikmati pekerjaannya.
Sebenarnya Abah dan Uminya telah melarang Parmin untuk bekerja, mereka telah menasihatinya agar fokus pada belajar. “Le,[1] Abah dan Umimu ini masih mampu mencarikan biaya sekolah kamu. mbok ya ndak usah kerja, fokus saja untuk belajar.” Jelas pak Karyo, Abah Parmin menasihati putra semata wayangnya. “Injeh[2] Bah, pekerjaan ini tidak mengganggu belajar Parmin. Parmin menikmati semua ini. Abah dan Umi tidak usah khawatir.” Jawab Parmin dengan penuh kesopanan. “Ya sudah Le, kamu sudah besar. Umi yakin kamu sudah pandai mengatur waktu. Kalau kamu bisa menikmati itu dan ikhlas menjalaninya ya ndak apa-apa. Umi dan Abah bangga punya anak sepertimu.” Tambah Bu Mahmudah dengan mata berkaca-kaca.
“Le, hidup di dunia ini hanya sementara, kalau dalam bahasa orang Jawa ibarat mampir ngombe[3]. Maka dari itu, segala sesuatu yang kamu lakukan harus dilandasi dengan niat ibadah, biar ndak sia-sia. Saumpomo wong poso gor entuk luwe lan ngelak thok. Paham to?”[4] begitulah pak Karyo selalu mengajari anaknya tentang hidup dan kehidupan serta bagaimana harusnya menyikapi kehidupan. Dunia dengan Kehidupan yang sering menjerumuskan manusia ke lembah hitam kelam tanpa adanya sinar yang nantinya akan membawa kepada penderitaan dunia dan akhirat. “Injeh Bah, Parmin ngerti. Terimakasih atas pelajaran hidup yang selalu Abah ajarkan pada Parmin. Insyaallah Parmin akan selalu mengingat dan berusaha melakukannya semampu Parmin.” Jawab Parmin
***
” Selamat pagi Parmin, em,,,,,” sapa Rani teman kelas Parmin dengan nafas terengah-engah
“ Selamat pagi juga Rani, ada apa? Atur dulu nafasnya, duduk dulu yuk.” Parmin menyapa Rani dengan tenang lalu mengajaknya duduk di taman dekat kelas mereka.
Pagi ini tak seperti biasanya. Awan semakin tak bersahabat. Sepertinya ia akan segera menangis membasahi bumi. Namun, bagi Rani ini adalah pagi tercerah yang pernah ia rasakan. Bunga-bunga di taman seolah bermekaran menyebarkan semerbak harum nan wangi. Akhirnya momen yang selalu dinantikan sejak kurang lebih dua tahun lalu tiba juga. Duduk berdua dengan Parmin, sang pujaan hati.
Mereka duduk di taman dekat kelas sambil menunggu bel masuk berbunyi. Setelah 15 menit terdiam membisu, Rani memberanikan diri membuka mulut. Dengan nada gugup ia mengatakan kepada Parmin bahwa ada lomba cerdas cermat antar SMA sederajat se-Jawa Bali dengan hadiah lumayan menarik. Rani mengajak Parmin untuk bergabung dalam kelompoknya. Parmin menyetujui hal ini. Mereka sepakat untuk belajar bersama usai bel pulang sekolah berbunyi. Rani sangat senang dengan keputusan Parmin, spontan ia berteriak hingga semua mata memandang ke arah mereka. Rani tersipu malu tapi Parmin menyikapinya dengan penuh ketenangan dan kewibawaan. Tak lama kemudian bel masuk pun berbunyi, Parmin dan Rani berjalan menuju kelas.
***
“Le, cepat minta bantuan pada kang Sardi untuk membawa Abahmu ke rumah sakit. Ayo Le.” Pinta Bu Mahmudah menahan isak tangis.
“Assalamu’alaikum. Bulik[5], paklik Sardi dimana? Parmin mau minta tolong paklik Sardi untuk mengantar Abah ke rumah sakit.” Ucap Parmin dengan nafas terengah-engah.
Hal yang tak pernah diduga terjadi. Pak Karyo yang sehat bugar tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab yang pasti. Bu Mahmudah dan Parmin sangat terpukul. Bu Mahmudah tak lagi bisa mencucikan pakaian tetangga karena harus menunggui pak Karyo di rumah sakit. Demikian Parmin, ia harus merelakan para pelanggan korannya resah menanti kedatangannya. Seminggu sudah Parmin tidak mengayuh sepeda keliling komplek karena harus menggantikan peran Uminya sementara Abahya opname.
Sepulang sekolah, Parmin tak bisa belajar bersama mempersiapkan lomba cerdas cermatnya. Ia harus mencari pekerjaan sampingan dengan gaji lebih terjangkau untuk membiayai rumah sakit Abahnya. Meski harus menjadi kuli bangunan, Parmin menjalaninya dengan rela hati demi kesembuhan Abah tercinta.
***
Keesokan harinya saat di sekolah, dengan berat hati ia mengundurkan diri dari lomba cerdas cermat. “Ran, maaf. Aku tidak bisa fokus. Perkenalkan, ini Roni. Anak kelas B. Dia yang akan menggantikanku. Ku harap kamu paham dengan kondisiku.” Mendengar penjelasan Parmin, seakan disambar petir. Rani pergi tanpa sepatah kata terlontar dari mulutnya.
Parmin berjalan menyusuri lorong sekolah dengan pandangan kosong. Kondisi Abahnya semakin parah. Pupus sudah harapannya untuk ikut lomba yang dinantikan. Yang paling menyakitkan, setiap hari ia harus melihat tubuh Abahnya yang pucat pasi, tak berdaya terbaring di atas kasur. Air mata Umi yang terus mengalir diiringi do’a tiada henti membuat hatinya semakin perih bagai disayat mata pisau yang tajam.
Tak pernah ia duga bahwa Abahnya terkena kanker otak stadium empat. Selama ini Abahnya tak pernah mengeluh. Ia selalu tersenyum menghadapi kerasnya kehidupan. Dan Parmin, tak mampu berbuat apa-apa. Terpaksa ia harus menanggalkan seragam sekolah dan digantikan dengan seragam pabrik untuk mencari biaya operasi Abahnya.
***
“Umi, lihat apa yang Parmin bawa. Parmin mendapat rizki Umi. Kita bisa membiayai operasi Abah. Abah akan segera sembuh Umi.” Ucap Parmin dengan linangan air mata bahagia. Bu Mahmudah seharusnya menyambut kabar ini dengan senyum bahagia. Namun, anehnya ia memeluk erat tubuh Parmin yang kumel lagi berkucuran keringat. Isak tangis terdengar semakin menjadi. Parmin bingung. “Umi, kenapa Umi menangis. Kenapa Umi?” Tanya Parmin dengan nada sedikit tinggi. Akan tetapi Bu Mahmudah tak berucap meski hanya satu kata.
“Parmin, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, hidup dan mati manusia adalah rahasiaNya.” Jelas Dokter saat keluar dari ruangan pak Karyo. Lutut Parmin lemas, tubuhnya bagai tak bertulang. Perlahan ia menghampiri jasad Abahnya yang terbaring tak bernyawa. Air mata tak lagi dapat dibendung. Ia peluk erat jasad Abahnya. Lengkap sudah penderitaannya.
***
“Le, bangun. Sudah adzan Subuh. Segera ambil air wudlu. Nanti para pelangganmu complain kalau kamu telat mengantarkan Koran-koran mereka.” Terdengar sayup-sayup suara Abahnya. Spontan Parmin terbangun dan memeluk Abahnya. Pak Karyo bingung melihat tingkah Parmin yang sedikit aneh pagi ini. Namun ia hanya tersenyum dan membalas pelukan anak tersayangnya.
-the end-
[1] Panggilan orang tua terhadap anaknya dalam bahasa Jawa
[2] Jawaban atas sebuah pertanyaan, menunjukkan persetujuan dari pihak kedua
[3] Istilah Jawa bermakna Mampir sekedar untuk minum
[4] Seumpama orang berpuasa hanya mendapat rasa lapar dan haus saja. paham kan?
[5] Panggilan terhadap adik dari bapak atau ibu. Bisa juga sapaan akrab terhadap tetangga di desa