Seringkali kudengar teman-temanku berkata, “aduh, aku bingung. Mau cerita apa ni? Apa yang mau ditulis?” dan seterusnya ketika mengerjakan tugas maharoh kitabah atau sejenisnya. Tidak punya ide menarik, bingung mau memulai dari mana, dan bagaimana menyusun kata-kata yang baik selalu menjadi alasan untuk tidak mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan. Padahal, jika kita mau berpikir dan mempunyai keinginan untuk mengerjakannya niscaya pasti bisa. Pada hakikatnya, semua berawal dari rasa malas yang menguasai diri. Jika kita bertanya pada diri, “Mana yang kau pilih, mengerjakan tugas atau nonton sama teman-teman?” Maka sudah barang tentu jawabannya nonton bareng teman-teman. Karena hakikatnya, ego setiap insan lebih memilih untuk bersenang-senang daripada harus susah-susah memikirkan tugas yang bertujuan mendidik.
Inilah yang seringkali tidak kita pahami. Kiranya perlu kita pahami bersama teori psikoanalisa Sigmund Freud, dimana ia membagi diri manusia ke dalam tiga hal, yakni: id, ego dan super ego. Dimana id merupakan hasrat hati yang cenderung mengarah kepada kesenangan. Ia bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego, mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia dan super ego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntutan moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Oleh karena itu, kita harus pandai dalam mengolah dan memanagenya sehingga ketiganya dapat berimbang dan menghasilkan output yang memuaskan semua pihak.
Memang, terkadang kita perlu mendengarkan kehendak hati, namun bukan berarti menurutinya secara cuma-cuma. Harus ada negosiasi yang baik antara hati dengan berbagai aspek yang lain seperti, agama, sosial, ekonomi, budaya dan kesehatan, guna tercapainya kesesuaian dalam segala lini. Dengan begitu tidak akan terjadi bentrok antara satu aspek dengan yang lain. Dan ketika kita telah melakukannya, berarti kita telah melatih diri untuk memanage ego, bernegosiasi dengannya dengan tanpa mengesampingkan kehendak hati. Jika ini terus dilakukan, akan semakin mengasah ketajaman dan kepekaan diri terhadap setiap peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Dan kita akan mengalami kemudahan dalam menghadapi setiap masalah.
Sebagai contoh agar lebih mudah dalam memahaminya saya hadirkan sebuah contoh yang sering terjadi pada diri saya sendiri. Biasanya di pagi hari ketika bangun dari tidur, rasa malas untuk bangun merajai diri. Hati berhasrat untuk melanjutkan tidur. Ketika mengalami hal seperti ini, oke kita boleh mendengar kehendak hati untuk tetap melanjutkan tidur, akan tetapi kita juga harus berpikir, jika tetap melanjutkan tidur tidakkah semakin menyulitkan diri? Bukankah banyak hal lebih penting yang sebenarnya bisa kita selesaikan dibanding kalau kita melanjutkan tidur? Dan seandainya kita melanjutkan tidur, bukankah kewajiban semakin menumpuk? Dan tidak menutup kemungkinan akan banyak kewajiban yang terabaikan karenanya. Jika demikian, memaksa diri untuk bangun adalah pilihan yang tepat. Toh, bukankah kita punya waktu yang cukup untuk istirahat? Selain itu, Tuhan menganugerahi kita hidup bukan hanya untuk tidur bukan?
Dari peristiwa tersebut kiranya pembaca dapat mengambil kesimpulan tersendiri. Dan mungkin jika ingin menyanggah, monggo. Kita sama-sama belajar.
0 komentar:
Posting Komentar