Rumit, tapi ini adalah
sebuah realita yang terjadi di tengah-tengah kami. Makhluk non manusia
turut tertarik dengan tingkah, polah, laku manusia. Bukan sekedar
mengamati dari jauh, tapi turut urun suara; melu rembug istilah jowone.
Aku pribadi, percaya dan sangat percaya bahwa ada makhluk lain selain
manusia. Di setiap tempat. Hanya saja memang ia makhluk tak tampak oleh
kasat mata. Karena seandainya tampak, pastilah manusia tak dapat
menjalani hari-harinya dengan senyum, canda dan tawa. Hanya serem,
ngeri, dan merinding yang akan menyelimuti. Tapi mungkin, seandainya ia
adalah makhluk yang tampak kasat mata, lama-kelamaan kita akan adaptasi
dengan mereka, tak lagi serem, takut, ngeri atau merinding karena sudah
biasa.
Selama ini, banyak teman-temanku yang _mohon maaf_ terlalu penakut menurutku. Ketika ia mengutarakan rasa takutnya atau spontan muncul rasa takut melalui sikapnya, telah menjadi kebiasaan ku katakan padanya, “Halah, opo siech rek sing mbok wedeni ke… biasa ae po ow. Gak ono opo-opo, gak ono opo-opo.” Mungkin ia _makhluk lain_ merasa tersinggung dengan kata-kataku yang sebenarnya itu hanyalah salah satu caraku untuk menghilangkan atau sekedar mengurangi rasa takut yang menghantui teman-temanku. Ia _makhluk lain_ merasa ternafikan oleh statement_ku. Untuk itu, ku akui, aku minta maaf atas salah paham yang tak ku maksud. Berarti, harus ada perbaikan dari kedua belah pihak. Dariku pribadi, aku harus merubah bahasaku dalam menyampaikan suatu maksud. Agar aku lebih hati-hati alias ndak ceplas-ceplos, memilih bahasa paling sederhana agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan kesalahpahaman pada pihak mukhotob. Dari pihak kedua_mukhotob_hendaklah ia lebih cerdas memahami bahasaku. Hehehehe….. Mencoba untuk memahami bahasa tidak hanya dari bentuk luarnya sebagaimana aliran linguistik strukturalis yang hanya terpaku dan terkungkung pada pakem-pakem kebahasaan. Ia_makhluk lain_ harus belajar memahami bahasa sebagaimana aliran psikolinguistik dan fungsionalis yang memahami bahasa dari berbagai sudut pandang dan latar belakang kondisi batin, fisik maupun teritorial.
Islam mengajari kita untuk saling menghormati, saling menghargai, sopan, santun, baik dalam hablun minallah, min an-nas, maupun min al-‘alam. Komunikasi kita dengan siapapun harus dijaga. Baik secara lisan, sikap, perbuatan bahkan hati_dalam artian niat_. Hindarkan niat buruk sebisa mungkin, jangan biarkan nafsu merajai. Hindari bahasa-bahasa kesombongan_meski mungkin bahasa dan lahjahku selama ini lebih sering dinilai orang sebagai sebuah kesombongan. Tapi aku sedang mencoba untuk tidak demikian_. Karena ku sadari, manusia, bagaimanapun, sebaik apapun, setulus apapun ia, sulit untuk menghindarkan diri dari sifat-sifat sombong, riya’, suka pujian sampai terkadang caper, dan sifat-sifat senada. Maklum, manusiawi, “tapi bisa diminimalisir,” begitu kata ust Slow menyambung obrolan kami malam itu.
Orang-orang yang tidak bisa mengontrol dan mengendalikan diri dari tingginya laju nafsu akan mudah dikontrol oleh makhluk lain. Karenanya, untuk menjaga diri, “Sing penting jek eleng karo pengeran rek, insyaAllah, wong iku gak iso diganggu. Alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub. Laa haula wa laa quwwata illaa billah. Gak ono kekuatan seng iso nandingi kekuatanNya.” Sahut da’i aLfan dalam ceramah singkatnya menanggapi permasalahan yang ada. Dengan gayanya yang kalem, santai, lahjah jowo banget tapi mengena ia melanjutkan, “Makhluk liyo iku pinter ngelabuhi rekk, opo seng diomong yo ojo serta merta dipercoyo, tapi yo ojo 100% diabaikan lah.”
Ya, aku pribadi sepakat dengan ust sLow juga da’i aLfan. Apa yang disampaikannya_makhluk lain_ sudah beberapa hari lalu aku bahas dengan Ijup. Tak jauh berbeda analisanya dengan analisa kami. Cukup cerdas membaca sikond, hehehe…. Hanya saja karena ia_ makhluk lain_ yang menyampaikan, maka terkesan serem dan ngeri. Sepertinya ia sangat ingin berteman dengan kita, sampai-sampai ia_ makhluk lain_ berusaha keras memahami karakter masing-masing kami. Tapi tetap, ia_ makhluk lain_ tak mampu menjamah kata hati kami. Apa yang diomongkannya tentang ketidaksukaannya pada kita tak bisa kita telan mentah-mentah hingga memberikan efek/pengaruh luar biasa terhadap jiwa kita. “Apa yang dikatakannya_makhluk lain_ tentang kita itu hanyalah pendapat dalam sudut pandangnya saja. Jadi ojo sampek kita terbebani rek. Dinggo introspeksi diri ae.” Sahut ijup tampak khawatir jikalau banyak teman-teman yang terlalu mendramatisir dalam menanggapinya. Terima sebagai kritik, tapi ingat, tidak semua kritik harus kita jalankan bukan? Perlu analisa mendalam dari diri kita. Karena kita lah yang tau siapa diri kita sebenarnya. Mencoba mendengar suara hati terdalam maka akan kau kenali siapa, apa dan bagaimana dirimu sesungguhnya. Tentu pendapat teman-teman dekat dan “musuh” (seseorang yang berseberangan pendapat dalam banyak hal dengan kita) sangat membantu untuk membuka tabir siapa sejatinya kita.
Selintas aku jadi teringat tentang diskusi beberapa bulan yang lalu_bersama Pak Agus Sunyoto, Aqilians dan teman-teman Fak. Ilmu Budaya UB_, mengenai sejarah makhluk Tuhan di muka bumi ini. Diawali dengan:
وإذقال ربك للملئكة إنّي جاعل في الأرض خليفة، قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها و يسفك الدّماء و نحن نسبّح بحمدك و نقدّس لك، قال إنّي أعلم ما لا تعلمون. (Qs. al_Baqoroh:30)
bahwa telah ada makhluk lain sebelum manusia yang bersemayam di muka bumi ini. Dan saat kita menempati tempat baru, sebagai sebuah ta’aruf, saling menghormati dan saling menghargai, harusnya kita menyapa mereka, sehingga dapat tercipta kehidupan bertetangga yang harmonis, sejahtera dan toleran. Apapun yang terjadi, memang semestinya terjadi sebagai konsekuensi logis atas ucapan, sikap dan perbuatan kita, baik yang kita lakukan dengan kesadaran penuh, separo-separo maupun tidak sama sekali. Karena itu, monggo menjadikan semua peristiwa sebagai bahan introspeksi diri untuk dapat menjalani hidup dan kehidupan kita_sebagai hamba, makhluk individu, dan makhluk sosial_ lebih dan lebih baik lagi. Bukankah خير الناس أنفعهم للناس????!!!!
GondangLegi, 18-07-2012
00:07 ditemani dinginnya semilir angin malam yang masuk melalui celah-celah pintu berlubang
Selama ini, banyak teman-temanku yang _mohon maaf_ terlalu penakut menurutku. Ketika ia mengutarakan rasa takutnya atau spontan muncul rasa takut melalui sikapnya, telah menjadi kebiasaan ku katakan padanya, “Halah, opo siech rek sing mbok wedeni ke… biasa ae po ow. Gak ono opo-opo, gak ono opo-opo.” Mungkin ia _makhluk lain_ merasa tersinggung dengan kata-kataku yang sebenarnya itu hanyalah salah satu caraku untuk menghilangkan atau sekedar mengurangi rasa takut yang menghantui teman-temanku. Ia _makhluk lain_ merasa ternafikan oleh statement_ku. Untuk itu, ku akui, aku minta maaf atas salah paham yang tak ku maksud. Berarti, harus ada perbaikan dari kedua belah pihak. Dariku pribadi, aku harus merubah bahasaku dalam menyampaikan suatu maksud. Agar aku lebih hati-hati alias ndak ceplas-ceplos, memilih bahasa paling sederhana agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan kesalahpahaman pada pihak mukhotob. Dari pihak kedua_mukhotob_hendaklah ia lebih cerdas memahami bahasaku. Hehehehe….. Mencoba untuk memahami bahasa tidak hanya dari bentuk luarnya sebagaimana aliran linguistik strukturalis yang hanya terpaku dan terkungkung pada pakem-pakem kebahasaan. Ia_makhluk lain_ harus belajar memahami bahasa sebagaimana aliran psikolinguistik dan fungsionalis yang memahami bahasa dari berbagai sudut pandang dan latar belakang kondisi batin, fisik maupun teritorial.
Islam mengajari kita untuk saling menghormati, saling menghargai, sopan, santun, baik dalam hablun minallah, min an-nas, maupun min al-‘alam. Komunikasi kita dengan siapapun harus dijaga. Baik secara lisan, sikap, perbuatan bahkan hati_dalam artian niat_. Hindarkan niat buruk sebisa mungkin, jangan biarkan nafsu merajai. Hindari bahasa-bahasa kesombongan_meski mungkin bahasa dan lahjahku selama ini lebih sering dinilai orang sebagai sebuah kesombongan. Tapi aku sedang mencoba untuk tidak demikian_. Karena ku sadari, manusia, bagaimanapun, sebaik apapun, setulus apapun ia, sulit untuk menghindarkan diri dari sifat-sifat sombong, riya’, suka pujian sampai terkadang caper, dan sifat-sifat senada. Maklum, manusiawi, “tapi bisa diminimalisir,” begitu kata ust Slow menyambung obrolan kami malam itu.
Orang-orang yang tidak bisa mengontrol dan mengendalikan diri dari tingginya laju nafsu akan mudah dikontrol oleh makhluk lain. Karenanya, untuk menjaga diri, “Sing penting jek eleng karo pengeran rek, insyaAllah, wong iku gak iso diganggu. Alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub. Laa haula wa laa quwwata illaa billah. Gak ono kekuatan seng iso nandingi kekuatanNya.” Sahut da’i aLfan dalam ceramah singkatnya menanggapi permasalahan yang ada. Dengan gayanya yang kalem, santai, lahjah jowo banget tapi mengena ia melanjutkan, “Makhluk liyo iku pinter ngelabuhi rekk, opo seng diomong yo ojo serta merta dipercoyo, tapi yo ojo 100% diabaikan lah.”
Ya, aku pribadi sepakat dengan ust sLow juga da’i aLfan. Apa yang disampaikannya_makhluk lain_ sudah beberapa hari lalu aku bahas dengan Ijup. Tak jauh berbeda analisanya dengan analisa kami. Cukup cerdas membaca sikond, hehehe…. Hanya saja karena ia_ makhluk lain_ yang menyampaikan, maka terkesan serem dan ngeri. Sepertinya ia sangat ingin berteman dengan kita, sampai-sampai ia_ makhluk lain_ berusaha keras memahami karakter masing-masing kami. Tapi tetap, ia_ makhluk lain_ tak mampu menjamah kata hati kami. Apa yang diomongkannya tentang ketidaksukaannya pada kita tak bisa kita telan mentah-mentah hingga memberikan efek/pengaruh luar biasa terhadap jiwa kita. “Apa yang dikatakannya_makhluk lain_ tentang kita itu hanyalah pendapat dalam sudut pandangnya saja. Jadi ojo sampek kita terbebani rek. Dinggo introspeksi diri ae.” Sahut ijup tampak khawatir jikalau banyak teman-teman yang terlalu mendramatisir dalam menanggapinya. Terima sebagai kritik, tapi ingat, tidak semua kritik harus kita jalankan bukan? Perlu analisa mendalam dari diri kita. Karena kita lah yang tau siapa diri kita sebenarnya. Mencoba mendengar suara hati terdalam maka akan kau kenali siapa, apa dan bagaimana dirimu sesungguhnya. Tentu pendapat teman-teman dekat dan “musuh” (seseorang yang berseberangan pendapat dalam banyak hal dengan kita) sangat membantu untuk membuka tabir siapa sejatinya kita.
Selintas aku jadi teringat tentang diskusi beberapa bulan yang lalu_bersama Pak Agus Sunyoto, Aqilians dan teman-teman Fak. Ilmu Budaya UB_, mengenai sejarah makhluk Tuhan di muka bumi ini. Diawali dengan:
وإذقال ربك للملئكة إنّي جاعل في الأرض خليفة، قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها و يسفك الدّماء و نحن نسبّح بحمدك و نقدّس لك، قال إنّي أعلم ما لا تعلمون. (Qs. al_Baqoroh:30)
bahwa telah ada makhluk lain sebelum manusia yang bersemayam di muka bumi ini. Dan saat kita menempati tempat baru, sebagai sebuah ta’aruf, saling menghormati dan saling menghargai, harusnya kita menyapa mereka, sehingga dapat tercipta kehidupan bertetangga yang harmonis, sejahtera dan toleran. Apapun yang terjadi, memang semestinya terjadi sebagai konsekuensi logis atas ucapan, sikap dan perbuatan kita, baik yang kita lakukan dengan kesadaran penuh, separo-separo maupun tidak sama sekali. Karena itu, monggo menjadikan semua peristiwa sebagai bahan introspeksi diri untuk dapat menjalani hidup dan kehidupan kita_sebagai hamba, makhluk individu, dan makhluk sosial_ lebih dan lebih baik lagi. Bukankah خير الناس أنفعهم للناس????!!!!
GondangLegi, 18-07-2012
00:07 ditemani dinginnya semilir angin malam yang masuk melalui celah-celah pintu berlubang
0 komentar:
Posting Komentar