Diskusi
isu-isu kontemporer PBA bertemakan Media Pembelajaran Mutakhir
berlangsung hangat (18/10). Meski di awal pertemuan mahasiswa-mahasiswi PBA UIN
Maliki Malang kelas B tampak datar-datar saja, namun menjelang jam mata kuliah
berakhir, antusias mereka mencuat ke permukaan.
Berawal
dari pertanyaan yang dilontarkan Puji Lestari kepada para pemateri, “Dalam
pengamatan saya pribadi, menjamurnya media pembelajaran, baik untuk bahasa arab
maupun untuk mata pelajaran yang lain, sama-sama mengurangi peran dan fungsi
seorang guru. Tak jarang media menjelma menjadi guru sedang guru itu sendiri
duduk manis tanpa satu patah kata penjelasan kecuali salam pembuka dan penutup
saja. Bagaimana pendapat presentator?” Demikian Puji mencurahkan keresahannya.
“Memang,
diakui atau tidak Indonesia selalu terbelakang, termasuk dalam konteks
perkembangan media pembelajaran. Coba kita lihat pendidikan Jepang, di mana
masing-masing siswa memegang semacam iped dalam proses pembelajarannya. Guru
cukup sebagai pengawas saja. Pebelajar telah mampu belajar sendiri dengan media
yang tersedia.” Timpal Talhis menanggapi pernyataan sekaligus pertanyaan Puji.
Panas
kuping saya mendengar pernyataan tersebut. Tak dapat dipungkiri memang, bahwa
media pembelajaran kian marak seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi terutama. Namun, ada banyak analisa yang dapat saya tangkap.
Setidaknya, sebagai seorang mahasiswa pendidikan yang orientasi ke depan akan
menjadi pendidik seharusnya memiliki pandangan yang luas lagi jangka panjang,
bukan justru berpikir sempit terlebih dalam jangka waktu pendek. Perkembangan
media pembelajaran yang kian menjamur merupakan teks yang harus kita analisa
dari berbagai sudut pandang, agar dalam penggunaannya pendidikan Indonesia
tidaklah dirugikan. Berikut beberapa analisa yang dapat saya paparkan:
Pertama, semakin tereduksinya esensi ilmu
pengetahuan. Saat disampaikan bahwa ketika ilmu pengetahuan hanya disampaikan
dengan metode ceramah saja akan membuat proses pembelajaran membosankan dan
sangat tidak menarik. Dari sini, nyatalah betapa tidak dihargainya ilmu
pengetahuan. Seorang penuntut ilmu, jika ia telah meyakini betapa pentingnya
ilmu pengetahuan, siapapun, dengan metode dan media apapun materi disampaikan
tidak akan pernah merasa bosan. Feedback ke dunia pesantren dengan
metode tradisionalnya; ceramah di mana dari sanalah terlahir intelek-intelek
berkualitas, tidakkah ini cukup menjadi bukti?
Kedua, mereduksi peran dan fungsi guru.
Guru, sebagaimana dalam idiom jawa adalah sosok yang digugu lan ditiru.
Ia bukan saja seorang mediator, lebih dari itu adalah dewa (pemilik) ilmu pengetahuan
dalam konteks pembelajaran, meski tak dapat dinafikan banyak murid yang lebih
pandai dari sang guru bahkan bertentangan dalam teori maupun praktik,
sebagaimana Hegel dan Mark, guru-murid yang bertolak belakang dalam pemikiran
materialism-idealisme, pun demikian dengan plato-aristoteles.
Ketiga, tak adanya proses dialektika
antara murid dengan murid, terlebih murid dengan guru. Padahal, tanpa adanya
dialek, maka kehidupan ini akan stagnan sebagaimana kata Tan Malaka dalam maha
karyanya MADILOG (Materialisme, Dialektika dan Logika). Bahwa dalam menyikapi
segala hal yang terjadi, manusia dangat membutuhkan proses dialektika agar
memperoleh satu pandangan objektif.
Keempat, pendidikan bukan sekedar mencetak
intelek yang kering dan haus akan nilai-nilai moralitas-kemanusiaan. Banyak
orang pintar namun bejat, tak berakhlak, penindas, feodal, dan seterusnya. Karenanya,
orientasi pendidikan bukanlah mencetak intelek yang cerdasnya setinggi langit,
melainkan intelek beradab, berbudi luhur, melek realita dan memiliki kepekaan
yang tinggi terhadap berbagai peristiwa di sekitar. Di sinilah, peran guru
sangat diperlukan, bukan sekedar sebagai mediator semata-mata yang menyerahkan
transfer ilmu pengetahuan sepenuhnya kepada media pembelajaran.
Kelima, tidakkah kita patut curigai siapa
di balik perkembangan media pembelajaran ini? Tidakkah ini berkaitan erat
dengan visi-misi kaum kapitalis yang dengan sengaja memanfaatkan perkembangan
media pembelajaran sebagai kendaraan untuk menghegemoni pendidikan Indonesia;
guna membodohkan anak-anak Indonesia. Beragam pendekatan, metode, strategi dan
teori belajar-mengajar digelontorkan oleh Barat. Sayangnya, Indonesia belum
mampu bersikap permisif-selektif terhadapnya, sehingga hanya berjalan mengikuti
arus yang mengakibatkan pendidikan bangsa ini kian buram, abu-abu, dan kabur.
Di
samping itu, jika boleh bersu’udzon lebih lanjut, tidakkah ini sebuah
komersialisasi media pembelajaran saja? Yang selain dari aspek ekonomi-industri
juga menyangkut penggiringan paradigma masyarakat Indonesia, di mana masyarakat
Nusantara dahulu telah lebih awal berperadaban dibandingkan Negara dan bangsa
manapun karena penyeimbangan pengetahuan rasio dan hati/batinnya. Dengan teori
Barat bahwa belajar-mengajar akan lebih mudah dimengerti dan dipahami jika
melalui visualisasi materi (menggunakan media pembelajaran.red), itu berarti
masyarakat Indonesia digiring untuk hanya berpegang pada paham materialisme dan
mengesampingkan batin/hati yang memiliki kekuatan dahsyat.
Demikianlah,
sedikit analisa yang dapat saya paparkan dalam menanggapi perkembangan media
pembelajaran, bahwa bukan segala hal yang berbau modern selalu lebih bagus dan
berkualitas. Merupakan tugas Guru sebagai pendidik untuk dapat bersikap
permisif-selektif terhadap pesatnya perkembangan media pembelajaran sehingga
arah dan tujuan pendidikan bangsa ini jelas lagi tegas. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar