Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

3 Hari di Kampung Jamur



Indahnya Panorama Donomulyo
Berkunjung ke Malang selatan memang sering saya lakukan, namun kunjungan kali ini (05-07/04) adalah kunjungan yang berbeda dari sebelumnya. Jika kunjungan-kunjungan yang lalu tempat yang saya tuju adalah tempat pariwisata seperti Balai Kambang, Kondang Merak, Sendang Biru dan Bajul Mati, kali ini saya mengunjungi pusat rekadaya jamur di daerah  Donomulyo. 
Bukan main perjuangan yang kami tempuh sore itu. Kami berempat: Makmun Syaikhoni, Heni, Wurya dan saya rencana akan berangkat usai sholat jum’at, namun karena Heni masih ada jadwal kuliah, kami terpaksa menunda jadwal keberangkatan hingga pukul 14.00WIB. Ketika pukul 14.00 WIB telah tiba, hujan deras melanda disertai angin yang cukup besar. Namun, sebagaimana kesepakatan awal, kami tetap berkumpul di depan klinik UIN Maliki lengkap dengan mantel sebagai pelindung diri.
Kemoloran sepertinya masih menjadi tradisi dalam setiap agenda di kalangan mahasiswa, sehingga dengan berbagai rintangan kami baru beranjak meninggalkan halaman klinik UIN Maliki pada pukul 15.00 WIB. Kami meluncur menuju Kecamatan Donomulyo, menerjang derasnya air hujan dan guruh yang terus bergemuruh. Saya yang sudah mempersiapkan diri sejak pukul 12.30 WIB sejujurnya merasa sangat kesal. Ada rasa mangkel kepada teman-teman yang begitu sulit diajak tepat waktu.
Namun semua kejengkelan dan kekesalan saya sirna saat sampai di jalan masuk daerah Kalipare-Donomulyo. Pohon-pohon yang berjajar  rapi di sepanjang jalan berliku, bukit-bukit yang timbul rendam dan udara yang begitu melegakan dada membuat mata siapapun terpesona oleh keindahannya. Mereka berbaris rapi, membentuk keserasian yang melahirkan nilai-nilai estetika tinggi.

Nikmatnya Olahan Jamur
Sesampainya di Donomulyo, sebagaimana pengarahan dari Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM UIN Maliki), kami langsung menuju rumah Pak Nur Wahid, perintis usaha rekadaya jamur sekaligus penggerak program Posdaya berbasis masjid di Dusun Kalipakem Rt. 06 Rw. 02 Desa Donomulyo.
Setelah menyampaikan tujuan kami untuk evaluasi hasil pengabdian masyarakat Posdaya berbasis masjid yang dilakukan LPM UIN Maliki ramadhan lalu, kami langsung akrab dengan Pak Wahid dan keluarga. Mereka sangat ramah dan bersikap begitu baik kepada kami. Usai perkenalan dan ramah tamah berakhir, Bu Tantri, istri Pak Wahid menunjukkan kamar kami lalu kami diminta untuk sholat maghrib dan makan malam bersama.
Hidangan yang begitu istimewa membuat kami tercengang saat Bu Tantri memberitahukan bahwa semua hidangan di atas meja berbahan dasar jamur. Ada tumis jamur, sop jamur, jamur krispi dan sate jamur. Semua terasa begitu nikmat, terutama sate jamur yang baru pertama kali kami mencicipinya. Hampir-hampir kami tak percaya bahwa sate itu terbuat dari jamur. Karena rasanya lebih lezat dari sate ayam ataupun kambing yang pernah kami nikmati. Hal ini juga tidak terlepas dari kepandaian Bu Tantri mengolah jamur menjadi lebih bervariasi dan memiliki harga jual yang tinggi.
Belum lagi es krim jamur yang kami buat bersama di keesokan harinya. Membuat kami semakin mengagumi kreativitas dan inovasi keluarga ini. Berbagai ide cemerlang yang mereka cetuskan menjadikan masakan olahan jamur istimewa.

Sulitnya Merintis Usaha
Untuk dapat sampai pada tahap pengolahan hasil rekadaya jamur seperti yang saat ini, Sarjana Teknik Mesin ITN Malang ini mengaku betapa sulitnya merintis usaha dari nol. Belum lagi basic pendidikannya yang sama sekali tak nyambung dengan usaha yang ditekuninya. Namun, Pak Wahid mengaku bahwa asal ada niat dibarengi dengan kesungguhan semua akan dapat dilalui. Ia juga menuturkan bahwa selama ada kemauan pasti ada jalan.
Rekadaya jamur ini mulai dirintisnya sejak tahun 2008, setelah pengunduran dirinya dari pekerjaan sebagai Supervisor di perusahaan Garuda Food Putra-Putri Jaya Gresik. Ia memaparkan bahwa ia kurang sepakat dengan sistem perusahaan yang menganggap manusia layaknya mesin tanpa hati dan akal. Keputusan pengunduran dirinya didukung pula oleh keluhan sang istri, “Pak, pak, aku dulu nikah itu dengan sampeyan, bukan dengan gaji sampeyan.” Ucap Pak Wahid mengulangi keluhan istrinya kala itu. Sontak kami tertawa bersama sekaligus kagum padanya.
Dari sinilah, usai ia mendapat kesempatan mengikuti pelatihan budidaya jamur di Blitar, ia langsung mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dengan merintis rekadaya jamur. Dengan modal dana seadanya, ia mulai bisnis kecil-kecilan. Menyetor hasil jamur ke pedagang-pedagang sayur keliling. Mesin oven yang dibutuhkan pun ia rangai sendiri dengan bekal ilmu teknik yang dimilikinya karena lebih hemat biaya.
Peminjaman modal untuk merintis usahanya selalu mendapati penolakan, karena ia tak memiliki jaminan yang lebih tinggi dari total biaya yang dipinjamnya. Bersyukur, karena akhirnya ia mendapatkan pinjaman dari PNPM dengan bunga 2% per tahunnya. Dan kini, usaha yang di awal mendapat berbagai cibiran itu telah memiliki 27 anggota kelompok kampong jamur.
Pengalaman berharga sekaligus ilmu tentang kehidupan yang kami peroleh di Donomulyo akan sangat bermanfaat ketika kelak kami terjun di tengah-tengah masyarakat yang sesungguhnya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar