Tak
seperti biasanya, malam ini (2/07) sahabat-sahabat PMII Rayon “Perjuangan” Ibnu Aqil cukup banyak
yang berangkat ngaji ke Pakis, sehingga aku tak lagi perlu khawatir harus minta
antar siapa untuk pulang usai ngaji.
Sejak
jam 19.00 WIB ku lihat Sarting, pak Lurah telas baru, tengah menikmati ngudud
dengan secangkir kopi di depannya. Bersama beberapa sahabat yang lain, sembari
melontarkan obrolan-obrolan ringan ia menunggu untuk berangkat ngaji ke Pakis.
Seolah
telah menjadi kesepakatan bersama, bahwa agenda kumpul selalu saja mengalami
molorisasi alias jam karet, sehingga setelah menunggu sekitar satu jam tiga
puluh menit, kami baru berangkat menuju lokasi ngaji.
Malam
itu K. Ng. H. Agus Sunyoto, guru ngaji di Pesantren Global membahas isu dengan
ruang lingkup yang cukup luas cakupannya. Salah satunya adalah tentang
stratifikasi masyarakat Nusantara masa Kerajaan yang hari ini justru dianggap
sebagai suatu wujud diskriminasi kemanusiaan.
Paradigma
demikian merupakan suatu kesesatan berpikir, paham yang salah atau orang Jawa akrab
menyebutnya dengan salah kaprah.
Dahulu,
di masa Kerajaan, masyarakat nusantara terbagi ke dalam tingkatan-tingkatan
tertentu, di mana yang menjadi tolak ukur adalah tingkat spiritualitas
seseorang. Dia yang secara spiritualitas baik, dekat dengan Dzat Kang
Murbeng Dumadi, maka secara tidak langsung masuk dalam kategori strata
sosial tingkat atas.
Menurut
penuturan Romo (Panggilan akrab Kiai Agus Sunyoto di Pesantren Global) stratifikasi
masyarakat kuno dibagi menjadi lima strata,
yakni: (1) kaum Brahmana; kaum suci, tidak terikat pada kehidupan yang
profan di mana hanya merekalah yang berhak berbicara tentang agama. (2) Kaum
Ksatria; orang-orang yang tak memiliki harta-kekayaan pribadi, yang mengabdikan
dan membaktikan dirinya pada Negara. (3) Kaum Waisya; golongan petani yang
telah memiliki rumah, binatang ternak, dan sawah pribadi. (4) Kaum Sudra; golongan
saudagar dan rentenir yang suka berbuat onar, melakukan tindak-tindak kriminal
seperti mencuri dan merampok. (5) Kaum Tucha; golongan yang sangat terikat
dengan materi, di mana hal tersebut telah meracuni darahnya, menjadi orientasi
utama dalam hidup dan kehidupan.
Struktur
stratifikasi masyarakat di atas disusun berdasarkan tingkat ke-zuhud-an
seseorang. Semakin seseorang zuhud (tidak bergantung kepada materi dunyawiyah)
semakin tinggi derajat kemanusiaannya, baik di hadapan Sang Kholiq
maupun di hadapan manusia. Hal tersebut sangat kontradiksi dengan apa yang
terjadi hari ini, di mana tinggi-rendahnya derajat seseorang justru diukur dengan
seberapa banyak materi yang ia miliki. Semakin kaya seseorang, semakin
terhormat ia di kalangan masyarakat.
Harta
benda dan kekayaan seolah telah menjadi Tuhan bagi manusia kebanyakan. Sehingga
melahirkan asumsi siapa yang ber-uang maka ia mampu melakukan segalanya. Segala
hal yang diinginkan dapat dengan mudah diwujudkan. Sebaliknya, orang yang
miskin meski ia memiliki budi pekerti yang baik tetap dianggap rendah dan remeh.
Paradigma
seperti di atas lah yang menjadikan dunia ini semakin semrawut. Norma tak lagi
diindahkan. Semua berasas pada ‘asal aku senang’. Kiranya stratifikasi
masyarakat Nusantara yang telah lama hilang harus kita cari dan kita kembalikan
seperti semula. Meski sedikit masuk pada kategori tamanni, itu bukan
mustahil. So, mari kita mulai dari diri sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar