Seorang anak kecil, ia bermimpi, suatu saat nanti, kala
usianya telah dewasa, kala ia mampu berbuat untuk kehidupan, kala pemikiran dan
tangannya mampu membuahkan karya, pertama-tama yang ia ingin ciptakan adalah
sebuah siklus kehidupan yang begitu indah, nyaman, tentram. Ia inginkan hidup
yang dilingkupi kebahagiaan, kesejahteraan dan kehangatan dalam kebersamaan.
Ibarat music dan lirik yang mengalun, senada seirama, yang keindahan dan
kemerduannya tak hanya dapat dinikmati oleh penciptanya seorang, namun juga
oleh siapa saja yang memainkannya, mendengarkannya, menari karenanya dan
tenggelam dalam kesyahduan.
Ia inginkan kehidupan di sebuah desa kecil, sebuah desa
dengan tanahnya yang subur, air sungai mengalir jernih, mengairi ladang dan
sawah, bunga-bunga bermekaran, padi tumbuh dan menguning, pohon-pohon kelapa
tinggi menjulang langitNya yang biru, burung-burung terbang mencari
penghidupan, tikus, ular, ulat, jangkrik, semua mempertahankan hidup dengan
memakan sebagian dari tanaman milik pak tani, semua hidup berdampingan demi
menjalani hidup yang telah dianugerahkanNya. Hewan, tumbuhan, manusia dan
seluruh alam menyatu. Manusia sebagai satu-satunya makhluk yang berakal
memahami betul siklus makhluk lainnya
sehingga mengerti bagaimana memperlakukan mereka, membiarkan mereka mendapatkan
haknya. Pak Tani dan Bu Tani hilir mudik dari ladang ke sawah dan rumah.
Di siang hari, gubuk-gubuk terasa hidup oleh celoteh Bapak
Ibu Tani yang tengah beristirahat dari pekerjaannya, mereka buka bungkusan
bekal yang dibawa dari rumah, nasi berbungkus daun pisang dengan lauk sederhana
hasil dari alam, ada tahu, tempe dan tak
lupa kulupan sayur-mayur, satu botol minuman
berisi kopi hitam menambah kenikmatan makan siang. Semilir angin yang berhembus
mengeringkan keringat yang mengucur, menerbangkan segala lelah dan membawa
kembali kesegaran. Bu Tani lebih dulu pergi ke sungai, membersihkan diri dan
mengambil air wudlu. Pak Tani, sebelum menyusul istrinya memimpin sembahyang
dhuhur, mengeluarkan sebungkus kecil plastic hitam, diambilnya kertas persegi panjang
putih, ditaburkan tembakau dan cengkih di atasnya, digulung dan dipelintirnya kertas
putih itu dengan kedua telapak tangannya hingga membentuk sebuah batang rokok.
Lalu ia keluarkan korek api dari sakunya, ia nyalakan ramuan tembakau dan asap
pun mengepul dari mulut dan lubang hidungnya.
Usai sembahyang, Pak Tani dan Bu Tani kembali bekerja.
Terdengar teriakan anak-anak sepulang sekolah memanggil-manggil, “Pak Bejo, Pak
Rebo, Lek Sumirah”. Bapak Ibu Tani melambaikan tangan, melempar senyum, menyahut
panggilan anak-anak, menyuruh mereka pulang, makan siang, istirahat dan pergi
ngaji di sore nanti. Tapi anak-anak, mereka bukan robot yang melakukan apapun
yang diinstruksikan. Mereka justru bermain-main di sepanjang jalan, tak jarang
beberapa dari mereka justru menjeburkan diri ke sungai, menikmati segarnya air
sungai yang mengalir. Lalu dalam kondisi basah kuyup mereka pulang ke rumah,
berkejaran satu sama lain dengan menenteng sepatu dan tas di kedua belah tangan.
Panasnya terik matahari yang membakar tubuh, mereka anggap sebagai sahabat yang
selalu setia menemani hari-hari. Tajamnya batu makadam membuat kaki mereka kian
kuat dan terlatih.
Sore hari, anak-anak itu menggiring kambing, sapi dan
kerbau mereka ke ladang. Membiarkan hewan piaraan mereka bebas merumput dan berlarian
di ladang. sembari menunggu hewan piaraan, mereka bermain-main, menyanyikan
tembang-tembang, bersahut-sahutan satu sama lain. Jika saat-saat ujian sekolah,
tak jarang mereka membawa buku dan saling tebak-tebakan. Menjelang senja,
mereka menggiring hewan piaraan kembali ke kandangnya, lalu pulang ke rumah dan
bersih diri. Bersama orang tuanya, anak-anak itu berduyun-duyun ke masjid desa.
Usai sembahyang maghrib, para orang tua kembali ke rumah, sedang anak-anak,
mereka ngaji ke guru TPQ.
Kehidupan seperti itu terus dan terus berlangsung, tak ada
satupun dari mereka bersaing untuk menjadi yang paling kaya, yang paling
terhormat atau yang paling pandai. Mereka saling bergandeng tangan, bahu
membahu, bergotong royong menciptakan kehidupan yang damai dan tentram. Tak ada
kebencian, iri, atau niatan saling menjatuhkan, yang ada hanyalah saling mengerti
meski perbedaan bertebaran, Musyawarah mufakat selalu menjadi azaz utama dalam
kehidupan bermasyarakat. Yang kaya membantu yang miskin, yang pandai mengajari
yang belum tahu,, orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya, guru digugu lan
ditiru, pemimpin masyarakat berbuat jujur dan adil, selalu mementingkan
kepentingan bersama, ah… alangkah indahnya., semua berjalan dalam harmoni kehidupan.
Mimpi itu terus digenggamnya. Anak itu menggenggam mimpinya
erat, dan tak pernah ingin melepasnya, hingga suatu ketika, kala ia tengah
menginjak usia dewasa, kala ia melihat realita kehidupan di luar sana, ia
merasa dunia menjadi begitu kejam, begitu brutal, menindas yang miskin,
menindas yang tak beruang, menindas yang tak berdaya, sesama saudara berebut
harta warisan, sesama pejabat saling menelikung, sesama pengusaha saling menyingkirkan
demi lolosnya tender, sesama selebriti saling fitnah, sesama pencipta saling
klaim karya, guru tak lagi memiliki waskita, alam dieksploitasi, kekayaan Negara
digerogoti, dokter tak lagi mau menyentuh mereka yang miskin, sekolah tak lagi
sudi menerima siswa tak berduit, individualisme meracuni, kapitalisme menjadi
panutan, uang dijadikan Tuhan. Kehidupan dunia menjadi kian menakutkan.