Sabda
Kanjeng Nabi Muhammad saw bahwa hari kiamat akan hadir ketika matahari terbit
dari barat, zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah
bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin
banyak. [Shahiih
Muslim, kitab al-Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222-223, Syarh an-Nawawi)].
Konteks hari ini kita dapat
melihat bagaimana kiamat sughro (kehancuran kecil) telah melanda, menimpa negeri
ini. Setiap hari kita saksikan berita tentang terjadinya bencana secara
beruntun dan tak berkesudahan, mulai dari banjir, tanah longsor, gempa bumi
hingga gunung-gunung yang dalam rentang waktu cukup lama tenang-tenang saja pun
turut mengeluarkan laharnya, mengaliri rumah-rumah, menghanyutkan segala isinya
bahkan tak sedikit nyawa-nyawa yang tak terselamatkan.
Pengungsian
di mana-mana, kelaparan menyergap, para pengungsi berebut nasi bungkus saat
relawan membagi-bagikannya, tidak adanya tempat istirahat yang layak, anak-anak
terserang berbagai macam penyakit, pemerintah kewalahan mengurusi korban
bencana alam yang berjumlah ribuan padahal Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) telah dibentuk sejak tahun 2008 yang lalu.
Ironinya,
ketika korban bencana tengah begitu marak, di samping berita duka tentangnya,
media masa menginformasikan adanya dana untuk saksi di Pemilu April 2014
mendatang, di mana untuk keseluruhan partai menghabiskan dana bekisar 700 M. Bukankah
jumlah tersebut tidak sedikit? Dan lagi, Partai Politik yang membutuhkan saksi,
mengapa Negara yang harus membiayai? Negeri ini kian menjadi lelucon saja, maka
sangat relevan ketika Darminto Sudarmo menamai negeri ini dengan label Republik
Badut sebagaimana judul bukunya yang baru saja terbit Desember 2013 lalu,
tentang bagaimana elit penguasa mulai dari presiden, menteri, penegak hukum, aparat
keamanan, dan anggota dewan yang katanya terhormat bisa dijabat oleh sekelompok
badut-badut.
Jika
kita mau menilik kembali, sesungguhnya bencana alam yang terjadi adalah karena
ulah tangan manusia itu sendiri. Mereka, baik masyarakat biasa maupun para
pejabat pemerintah telah berbuat tidak adil kepada alam sekitar dan lingkungan
di mana mereka tinggal. Dari hal-hal kecil seperti membuang sampah sembarangan,
penebangan hutan liar, dan pembangunan yang membabi buta tanpa mempedulikan
kondisi alam telah membuat keseimbangan alam terganggu.
Hal
penting yang sering diremehkan adalah perihal sampah. Hanya sedikit dari
masyarakat kita yang menyadari betapa pentingnya membuang sampah di tempatnya,
bahkan ada suatu desa, sebut saja desa A, di mana masyarakatnya tidak mau
membayar untuk biaya petugas sampah yang setiap hari keliling dari satu rumah
ke rumah guna mengambili sampah demi menjaga kebersihan. Namun, masyarakat
setempat bersikukuh tidak mau membayar dan memilih membuang sampah di sungai
seberang, padahal biaya tersebut hanya Rp. 3 ribu setiap bulannya. Alhasil,
pertengahan tahun 2013 lalu, masyarakat kena imbasnya. Saat hujan lebat
mengguyur, air sungai tersumbat oleh sampah yang menumpuk hingga akhirnya
banjir pun tak terhindarkan. Rumah-rumah tergenang aliran air sungai, berbagai
perabot rumah hanyut, jembatan runtuh, bahkan ada beberapa rumah yang turut
ambruk dan terbawa arus air sungai yang begitu deras. Yang perlu disyukuri,
tidak ada korban nyawa dalam bencana tersebut.
Selain
kelalaian dalam membuang sampah pada tempatnya, bencana banjir juga disebabkan
oleh tangan-tangan para konglomerat yang memiliki uang sehingga mereka merasa
berhak melakukan apapun. Sawah dan ladang disulap menjadi ruko-ruko, hutan
sebagai jantung dunia dibabat dan dibangun perumahan-perumahan sebagai ladang
bisnis, perusahaan, toko, dan ruko milik asing dibiarkan bertengger di bumi
nusantara meski harus menggusur rumah pribumi. Sepertinya nilai-nilai
kemanusiaan hampir tersingkirkan dari diri para pemegang kebijakan negeri ini,
mereka telah keblinger oleh kilau gemilau dunia yang menyilaukan. Dengan berdalih
pada developmentalisme dan memajukan peradaban berbagai pembangunan
terus dilakukan tanpa mempedulikan nasib rakyat apalagi alam dan lingkungan
sekitar. Sesungguhnya mereka telah menjadi tidak beradab.
Maka
bencana yang bertubi-tubi ini hendaknya mampu menyadarkan bahwa ketika alam
diperlakukan secara tidak adil oleh manusia, mereka akan melawan. Alam
memperingatkan manusia yang dibekali akal untuk dapat berpikir, bahwa mereka telah
lalai, abai dan lebih tepatnya acuh tak acuh terhadap alam. Padahal, jika
siklus perputaran alam terganggu sehingga keseimbangannya sirna, maka bencana
adalah sebuah niscaya.
0 komentar:
Posting Komentar