Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Memilah dan Memilih

Dalam proses menuju pernikahan, aturan agama menurut mayoritas madzhab mempertimbangkan kebangsaan, kemerdekaan, mata pencaharian, dan keagamaan yang dalam istilah Jawa lebih dikenal dengan bibit, bebet dan bobot. Pertimbangan agama justru berada pada nomer 4. Mengapa demikian? Tanya Romo Guru  kepada para mahasiswa santri (mantri) dalam ngaji (14/10) malam itu. Hal itu, papar Romo Guru, karena kualitas keagamaan seseorang seringkali bergantung pada 3 hal sebelumnya. Meski tidak berlaku bagi keseluruhan namun mayoritas demikian.
Dewasa ini, banyak laki-laki yang menggunakan agama sebagai tameng dan alat untuk meminang perempuan untuk menjadi istrinya. “Agama itu mengajarkan hidup sederhana Dek, tak boleh bermewah-mewah. Lihatlah bagaimana para sufi hidup dalam kesederhanaan. Bahkan Rosulullah saw; suri tauladan bagi seluruh umat, untuk makan sehari-hari saja ala kadarnya. Kadang untuk makan hari ini saja tidak ada.”
Demikianlah bagaimana laki-laki sering menggombal untuk merebut hati si perempuan. Kepada para perempuan, harap berhati-hati dengan kelihaian lidah kaum adam. Tentang apa yang disampaikannya, bisa saja itu hanya alibi untuk menutupi ketidakmampuan dan ketidakberdayaannya menafkahi keluarga. Padahal, pernikahan mensyaratkan aspek kemampuan seorang suami untuk menafkahi istri dhohir maupun bathin. Tidakkah ia tahu? Pertama, terlampau berani ia menyamakan dirinya dengan Sang Pembawa Risalah. Kedua, harus  diketahui bahwa Muhammad ketika melamar Khadijah memberikan mahar berupa 20 ekor unta yang jika dinominalkan dalam rupiah bernilai Rp. 400 juta.
Muhammad, sebelum diangkat menjadi utusan Allah, ia adalah pemuda pekerja keras. Di usianya yang masih muda ia telah menjadi seorang penggembala kambing. Ketika beranjak remaja ia mencari nafkah untuk bertahan hidup dengan menggeluti dunia perdagangan. Muhammad, anak yatim sejak dalam kandungan dan yatim piatu di usianya yang masih belia. Kondisi yatim piatu tidak menjadikannya tumbuh nestapa. Justru ia tumbuh menjadi sosok yang mengagumkan. Kecerdasan, keuletan, dan yang paling menarik adalah akhlaknya yang mulia menghiasi pertumbuhannya dari hari ke hari. Hingga di usianya yang ke-40 ia dipilih menjadi RasulNya.
Maka jika ingin mengambil Muhammad saw sebagai suri tauladan, hendaknya seorang calon suami harus menyontoh secara keseluruhannya, bukan parsial-parsial yang hanya dijadikan sebagai alibi untuk membohongi calon istri atau yang lainnya. Karena pasca pernikahan, seorang istri adalah tanggung jawab suami.
Pernikahan sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw ”an-Nikahu sunnati wa man roghiba ’an sunnati laisa minni”. Namun pada kondisi yang berlainan, menikah dapat berbalik menjadi perbuatan makruh bahkan haram. Dijelaskan dalam aturan agama, bahwa menikah memiliki beberapa hukumnya, di mana ia sangat tergantung pada keadaan orang yang hendak melakukan tadi, jadi hukum nikah itu dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
1. Wajib, yaitu apabila orang yang hendak menikah telah mampu sedang jika tidak segera menikah amat dikhawatirkan akan berbuat zina
2. Sunnah, yaitu mana kala orang yang hendak menikah menginginkan sekali punya anak, tetapi ia
mampu mengendalikan diri dari perbuatan zina, baik ia sudah berminat menikah atau belum.
3. Makruh, yaitu apabila orang yang hendak menikah belum berminat punya anak, juga belum pernah
menikah sedangkan ia mampu menahan diri dari berbuat zina. Padahal jika ia menikah amalan sunnahnya akan terlantar.
4. Mubah, yaitu apabila orang yang hendak menikah mampu menahan gejolak nafsunya dari berbuat
zina, sementara ia belum berminat memiliki anak dan seandainya ia menikah ibadah sunnahnya
tidak sampai terlantar
5. Haram, yaitu bagi orang yang apabila ia menikah justru akan merugikan istrinya karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan bathin, atau jika menikah ia akan mencari mata pencaharian yang diharamkan Allah walaupun orang tersebut sudah berminat menikah dan ia mampu menahan gejolak nafsunya dari berbagai zina.

Karenanya, sebelum menikah, setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, harus berhati-hati menggunakan aturan agama sebagai pijakan memilah dan memilih. Jika tidak, niscaya penderitaan akan menanti di masa-masa pasca pernikahan.
Laki-laki adalah makhluk yang lebih condong pada penggunaan akal, sehingga seringkali ngakali, termasuk ngakali perempuan yang akan dipersuntingnya. Tidak sedikit laki-laki yang mengkambinghitamkan cinta untuk memperoleh tujuan yang diincarnya. Baik itu harta, tahta maupun wanita, seperti kenyamanan hidup misalnya. Oleh karena si laki-laki berasal dari golongan grass root dan pengangguran, lalu ia mulai hidup dalam mimpi dan angan-angan. Ia ingin hidup dalam kenyamanan dan banyak harta tanpa harus bekerja. Tak peduli meski kemewahan tanpa kerja merupakan akar kekerasan, ia manfaatkan kelemahan perempuan yang memang suka dipuja dan dipuji. Dengan melancarkan gombalisasi yang dibingkai dalam romantisme cinta, si perempuan pun terpikat dan jatuh dalam pilihan tanpa pertimbangan bibit, bebet, bobot. Jika demikian, maka hanya tinggal menunggu pertengkaran demi pertengkaran terus tercipta seiring dengan kondisi hidup yang kian sulit dan menghimpit.
Contoh di atas bukan lantas bertujuan untuk menakut-nakuti atau menghalangi untuk menikah. Lebih dari itu agar dijadikan pengetahuan awal, sebuah bekal, pembelajaran dan pijakan untuk mempersiapkan diri menuju ke pernikahan. Jika umur sudah mencukupi, kondisi ekonomi mampu menafkahi, maka akan lebih baik jika menikah disegerakan sebagaimana sabda Nabi:
Wahai Ali ada tiga perkara jika tiba waktunya tidak boleh ditunda-tunda : shalat jika telah masuk waktunya, jenazah jika telah hadir untuk dishalatkan dan wanita jika telah datang jodoh yang sekufu’ dengannya’. (Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Imam Ali bin Abi Thalib)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar