Pantaslah mengapa Islam mengkategorikan
mati saat melahirkan sama dengan mati syahid layaknya kematian tentara Allah di
medan perang. Sebuah perjuangan besar yang menjadi kodrat setiap perempuan.
Bukan hanya proses melahirkan. Namun sejak masa kehamilan, melahirkan, menyusui
dan merawat anak. Begitu banyak perubahan terjadi pada diri seorang perempuan.
Di usia trimester pertama
kehamilan, mayoritas mereka mengalami mual-mual dan tubuh lemas. Tak jarang
dari mereka harus bermalam beberapa hari di Rumah Sakit untuk mendapatkan
cairan pengganti makanan masuk melalui infus. Hal itu karena mereka tak mampu
menelan kecuali kembali muntah, bahkan jika itu air putih. Di usia trimester
kedua semua terasa lebih baik. Makan mulai enak, bepergian atau bekerja sudah tak
sekhawatir trimester pertama. Lalu memasuki usia kehamilan trimester ketiga,
badan mulai terasa pegal-pegal, mudah lelah, sulit tidur dengan segala posisi,
dan sulit melakukan aktivitas normal sebagaimana sebelum masa kehamilan oleh
karena perut yang kian membesar. Belum lagi berbagai kekhawatiran yang
seringkali meliputi calon ibu tentang kondisi malaikat kecil dalam rahimnya.
Segala apa yang dilakukan dan dikonsumsi harus ekstra hati-hati, karena apapun
yang calon ibu lakukan dan konsumsi memberikan pengaruh kepada Dek Bay.
Saat usia kandungan memasuki bulan
ke sembilan, Ibu merasa sangat bahagia disertai rasa was-was. Berbagai
pertanyaan melintas, menari-nari dalam benak, ”Kapan anakku akan lahir,
menikmati hangatnya sinar mentari pagi? Kapan aku bisa memeluk tubuh
mungilnya?” ”Semoga malaikat kecilku lahir dalam keadaan sehat dan sempurna”
adalah doa yang tiada henti selalu dipanjatkannya; berharap yang terbaik untuk buah
hati.
Detik-detik menjelang kelahiran, rasa
sakit mulai mendera secara perlahan. Istilahnya calon ibu mengalami kontraksi
dengan munculnya rasa sakit di bagian pinggang dan keluarnya air
ketuban secara perlahan. Seiring dengan rasa sakit yang kian
bertambah, bertambah pula proses pembukaan bagi jalan si bayi untuk lahir ke
dunia. Hingga pembukaan sampai pada angka ke sepuluh, maka Dek Bay siap untuk
meluncur dengan tangisan pertamanya. Calon Ibu dengan segenap tenaga dan napas
terengah mengejan berusaha mendorong Dek Bay keluar dengan selamat.
Namun, tidak semua proses
melahirkan berjalan selancar yang diinginkan. Adakalanya berbagai kendala
dihadapi oleh calon Ibu. Sebagaimana yang penulis alami, proses kelahiran si
Kecil terhitung memiliki sedikit kendala. Ia lahir dua hari pasca HPL. Jum’at,
16 Oktober 2015 tepatnya pukul 03.00 dini hari, aku merasakan cairan merembes,
yang ternyata itu adalah air ketuban. Sesampainya di Rumah Sakit, disarankan
agar aku langsung diinfus untuk disuntikkan cairan penghambat merembesnya air
ketuban oleh karena pembukaan baru berada pada tingkat pertama (bukaan satu).
Perawat menyarankan untuk mengambil kamar dan menunggu reaksinya hingga pukul
16.00 WIB. Pada pukul itu, aku kembali dibawa ke ruang bersalin untuk
dievaluasi. Ternyata hasilnya nihil. Pembukaan tetap ada pada angka satu.
Perawat, sesuai saran dokter Arif
(Dokter spesialis kandungan di Ponorogo) menawarkan untuk drip atau operasi. Karena
posisi kepala bayi yang sudah berada pada jalan yang seharusnya, aku optimis
dapat melahirkan secara normal dan mengambil pilihan drip. Selang beberapa
waktu pasca cairan drip dipasangkan melalui infus, calon ibu merasakan adanya
kontraksi yang benar-benar menguras tenaga. Di tahap-tahap awal, calon ibu
masih mampu menahan untuk tidak merintih dan hanya menikmatinya dengan sedikit meringis,
semakin lama dan semakin lama, rasa sakit semakin bertambah seiring kian
banyaknya tetesan cairan drip yang masuk ke dalam tubuhku. Lewat tengah malam aku
merasakan kian sulit untuk sekedar bernapas pendek. Suami, Ibuk, Paklek, Bulek,
dan Mbak yang menunggui seakan turut merasakan sakitnya. Tak satu pun dari
mereka yang sempat untuk sekedar memejamkan mata atau mengistirahatkan tubuh. Semua
tegang. Perawat mensupport ku untuk terus mengambil napas panjang secara
perlahan dan terus berulang, karena hanya itu satu-satunya cara mengurangi rasa
sakit.
Hingga adzan subuh berkumandang,
kontraksi masih terus berlanjut. Perawat datang untuk mengecek. Dan ternyata
baru sampai pada bukaan empat sedang air ketuban sudah habis dan aku kehabisan
tenaga. Maka tanpa permisi perawat memutuskan untuk melakukan prosedur
selanjutnya, ”Siapkan perlengkapan operasi. Hubungi dokter bersangkutan. Pasien
akan operasi tepat pukul 06.00 WIB. Pihak suami dimohon ke meja administrasi
untuk tanda tangan!” Sontak aku menangis tersedu, bukan karena menyesal memilih
jalan drip dan merasakan sakit, bukan pula merasa sia-sia telah berjuang sehari
semalam untuk melahirkan normal, namun aku benar-benar merasakan betapa hebat
proses kelahiran manusia ke dunia ini. Betapa semua adalah takdir Tuhan yang
tak terelakkan.
Mendengar instruksi operasi, spontan
para perawat mulai bekerja dengan cekatan. Cairan drip dilepas, kateter urin dipasang,
pakaian operasi dikenakan, dan tubuh dipindahkan ke transfer bed untuk
dibawa ke ruang operasi. Decit roda transfer bed terdengar begitu
menyeramkan. Ruang operasi terasa sangat jauh dari kamar bersalin. Perawat mendorong
setengah berlari. Sakit akibat kontraksi masih mendera. Dan begitu banyak mata
memandang, menyaksikanku didorong menuju ruang operasi sembari meringis menahan
sakit. ”O Tuhan, ini adalah kali pertama aku akan dioperasi.” pikirku dalam
benak.
Sesampainya di ruang operasi,
perawat yang mendorong kembali ke ruang bersalin. Aku dibiarkan menunggu dokter
yang bertanggungjawab datang. 30 menit menunggu akhirnya asisten dokter yang
bertugas datang. ”Ayo Bu, silahkan pindah ke meja operasi.” perintahnya sembari
mondar-mandir menyiapkan peralatan operasi. Aku tak juga beranjak dan hanya
meringis kesakitan di atas transfer bed. ”Ayo Bu segera pindah, dokternya
keburu datang. Biar ibu segera dibius dan tidak lagi merasakan sakit.” ulangnya
masih sambil mondar-mandir.
”Andai mampu, sudah sedari tadi
saya pindah Pak. Tapi
tubuh tak kuasa.” Batinku pedih. Beberapa saat ketika kontraksi sedikit
mereda, ku kumpulkan tenaga dan mencoba merangkak pindah ke meja operasi. Melihat
tubuhku yang lemah tak berdaya, Asdok pun langsung membantuku untuk pindah. Lalu
aku didudukkannya dan disuntikkan bius di bagian pinggang. 3 kali suntikan
membuat sebagian tubuhku mati rasa. Dingin merambat dan terus merambat. Aku ditelentangkan,
kedua tangan dibentangkan ke kiri dan kanan. Pada keduanya dipasang infus dan
persiapan transfusi darah kalau-kalau aku membutuhkannya. Kedua kaki dan paha
juga disuntik bius. 3 dokter yang akan mengoperasi datang; spesialis kandungan,
spesialis anak dan spesialis amnesti. ”Ibu Tina, sudah berusaha normal sebisa
mungkin, tapi apa boleh buat. Dalam proses kelahiran yang paling penting
bukanlah normal atau operasi namun bayi dan ibu keduanya selamat. Siap dioperasi
ya Bu?” ucap Dokter Arif terdengar sabar dan menenangkan. Aku hanya menjawabnya
dengan sebuah anggukan penuh kepasrahan semoga semua berjalan lancar.
Bagian dada ke atas ditutup. Aku
tak bisa menyaksikan proses operasi namun dapat merasakan bagian perut seperti
ditekan-tekan. Aku juga dapat mendengar suara gemerincing alat operasi dan berbagai
guyonan yang diobrolkan oleh para dokter. Tiba-tiba air mata kembali mengalir deras
dari kedua mataku. ”O Tuhan... meskipun melewati proses operasi, bukankah aku
tetap menjadi seorang ibu?” Ada sedikit rasa tertekan menyelinap dalam benakku.
Tangis pun kian membuncah saat
terdengar tangis pertama si kecil memecah kesunyian, meramaikan ruang operasi. Rasa
haru, bahagia, penasaran, semua berpadu menjadi satu rasa yang tak terungkapkan.
”Selamat ya Bu, bayinya laki-laki. Sempurna dan sehat.” Ucap dokter Arif. Lalu si
kecil langsung dibawa ke ruang bayi, sedangkan aku masih harus menyelesaikan
proses operasi. Pukul 07.30 WIB aku dibawa keluar dari ruang operasi menuju
sebuah ruang pasca operasi. Proses penghilangan bius pun dilakukan. Pukul 09.30
WIB keluargaku dipanggil untuk membawaku ke kamar inap. Keluarga yang menunggu
tersenyum lebar menyambutku sebagai Ibu baru. Ucapan selamat dan pelukan hangat
kian menambah suasana haru. Terima kasih untuk suamiku tercinta, ibuk, paklek,
bulek, mbak dan semua keluarga yang turut menguatkanku.
Pukul 12.30 setelah pengaruh bius
sudah berkurang banyak, si kecil diantarkan ke ruang inap untuk menyusu kepadaku...
subhanallah... walhamdulillah... kebahagiaan menjadi seorang ibu melenyapkan
segala keluh, kesah dan sakit yang sempat dirasakan.
Ibu, dulu seperti ini kau
melahirkanku. Kini, aku merasakannya, dan bagi setiap anak, mari patuh kepada
orang tua kita, terutama IBU.
0 komentar:
Posting Komentar