Malu bertanya sesat di jalan, mau
bertanya tentu nggak sesat di jalan dan sampai pada tujuan. Ini adalah salah satu peribahasa yang ku
peroleh saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar dan benar-benar memberi
manfaat sangat mengejutkan saat sekarang ketika aku dan suami tengah
kebingungan mengenai tempat tinggal pasca kelahiran buah hati tercinta.
Satu minggu sebelum pernikahan,
suamiku diterima menjadi pegawai negeri di Sekolah Dasar Negeri 1 Wonokromo
Surabaya. Maka, mau tak mau kami harus tinggal di Kota Pahlawan setelah proses
pernikahan. Segera setelah itu kami keliling mencari kos terdekat dengan sekolah
tempat suamiku bekerja. Seharian menikmati panasnya suasana kota, akhirnya kami
mendapatkan kos yang cukup nyaman.
Sebagai orang baru di Surabaya,
kami tak memiliki sanak saudara. Semua terasa begitu asing di tengah keramaian
kota. Lalu suami teringat bahwa saudara sepupunya tinggal di daerah Sidoarjo.
Suatu ketika kami berkunjung untuk menjalin tali silaturrahim setelah terakhir
kali suami berkunjung pada tahun 2006. Tak terungkap betapa bahagianya Mbak
Yana (sepupu suami) saat tahu kami datang. Meski baru pertama bertemu tapi kami
(aku dan mbak Yana) terasa begitu akrab dan dekat.
Seharian di rumahnya, kami berbagi
cerita tentang bagaimana sulitnya memulai hidup di tempat baru. Terlebih saat
tidak memiliki koneksi dengan banyak pihak. Dengan sedikit malu ku beranikan
diri bertanya padanya, ”Dulu gimana ceritanya sampai bisa punya rumah sebagus
ini mbak?”
Dengan senang hati mbak Yana
bercerita kisah hidupnya. Dimulai dari kos, kontrak dan akhirnya punya rumah.
Sebuah perjuangan yang tak mudah untuk dijalani namun menjadi kenangan manis
yang tak terlupakan. ”Gimana ya mbak caranya kami punya rumah. Tanah di daerah
Surabaya mahal-mahal. Apalagi kalau rumah jadi. Sedang rumah merupakan
kebutuhan primer. Akan menjadi susah kalau kami harus berpindah kos atau
kontrak sana-sini.”
Ia menasihatiku agar menabung
sejak sekarang dan berani mengambil jalan ekstrim untuk segera membeli rumah
meski dengan jalan kredit mengingat suami sudah punya penghasilan tetap meski
tak banyak. Karena menurutnya, kalau menunggu punya uang untuk membeli rumah
secara cash akan sulit terealisasi. Dan berdasar pengalamannya, jika
uang di tangan, akan sulit untuk tidak membelanjakannya. Selalu dan selalu ada
kebutuhan (baik primer, sekunder dan tak jarang tersier) yang akan membuat uang
itu akhirnya lepas dari genggaman. Ia menyarankan hal itu pula mengingat kondisiku
yang belum punya momongan sehingga kebutuhan hidup masih sederhana. Karena
ketika sudah punya momongan kebutuhan hidup akan lebih membengkak terutama
ketika anak sampai pada usia sekolah.
Namun, ia juga memaparkan
resiko-resiko yang harus kami (aku dan suami) tanggung. Salah satunya adalah
harus siap hidup hemat. Mengapa demikian? Karena setiap bulan punya tanggungan
cicilan ke bank. Lagi, kami harus terus semangat dalam bekerja, agar sesegera
mungkin bisa melunasi kredit rumah. Dan kami siap menanggung resiko itu.
Tak lama kemudian Mas Latip (suami
mbak Yana) datang dan kami melanjutkan obrolan. Ia menyarankan agar kami
mencari rumah di daerah Sidoarjo atau Mojokerto saja karena biaya lebih ringan
dibanding harga di Surabaya kota, meski jarak rumah dengan tempat kerja cukup
jauh, namun itu sebuah pilihan yang harus diambil. Jika tidak, akan sulit bagi
kami untuk memiliki rumah. Dan kebetulan mas Latip bergelut dalam proyek-proyek
pembangunan perumahan di Sidoarjo. Ia pun menawarkan sebuah lokasi perumahan
kepada kami dengan sistem KPR. Hari itu juga kami berkunjung ke lokasi dan kami
(aku dan suami) menyukai tempatnya yang berdekatan dengan masjid dan pasar. Hanya
saja kami tak punya modal sama sekali untuk DP dan semacamnya. Karena Mas Latip
sudah berpengalaman di bidang itu dan ia masih saudara sepupu suami, ia bantu
kami untuk mengurus pengajuan KPR ke Bank. Akhirnya, bulan ini (Januari 2016) calon
rumah kami mulai dibangun. Alhamdulillah, semua berkat silaturrahim dan mau
bertanya serta berbagi. Semoga semua berjalan lancar dan segera bisa ditempati
meski masih kredit.
2 komentar:
Salah satu faktor yang bikin takut nikah : belum punya atap bernaung.
Selamat buat bakal rumah barunya mbak tin...
Selamat mbak tina.....semoga hasil, meski kredit tapi semua dari hasil jerih payah sendiri itu terasa lebih memuaskan dan melegakan mbak tina....doanya juga ya mbak tina....
Posting Komentar