Tak sia-sia safariku ke Jombang beberapa hari yang lalu, kekecewaan itu telah terobati di malam 21 Ramadhan ini. Tak kusangka aku bertemu dengan beliau setelah kecewa 2x berturut-turut tiap tahunnya, ke Jombang dan pulang dengan tangan kosong dan jiwa hampa.
Saat kudengar lantunan sholawat yang merdu diiringi alunan musik kontemporer, akulturasi musik tradisional dan modern, hatiku trenyuh, begitu menyentuh, lembut, bagai sepoi angin malam yang menyapa wajahku. Subhanallah, suara yang begitu indah, ini adalah wujud betapa Maha Indahnya Engkau Tuhan. Manusia-manusia berakhlak mulia yang hadir berjama’ah demi kebaikan dan untuk memenuhi dahaga spiritualitas merupakan interpretasi atas keMaha MuliaanMu. Terdapat romantisme antara Kau dan kami. Kau terasa begitu dekat, seakan tersenyum meridhoi.
I’maluu ‘alaa makaanatikum, innii ‘aamil, inilah kalimat pertama yang muncul untuk mengawali Sangu Ramadhan di lapangan masjid Sabilillah malam itu. Sebuah ayat yang mengandung makna begitu dalam. Masing-masing kita hendaknya melakukan sesuatu sesuai dengan porsi dan posisinya. Berkreasilah, kreatiflah, beraktualisasi dirilah semampumu. Tak perlu iri satu dengan yang lainnya karena masing-masing makhlukNya memiliki tugas dan bagian sendiri. Multiperan, multikegiatan, multiagenda, multikreasi dari masing-masing individu inilah yang akan menjadi kekayaan budaya Indonesia. Karya, karsa, rasa dan cipta manusia yang demikian beragam merupakan sebuah budaya tak ternilai.
Tak salah jika cak Nun mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri yang penuh rahmat, negeri yang harus kita syukuri. “Bersyukurlah kita dilahirkan di Indonesia.” begitu beliau mengajak jama’ah Maiyah untuk bangga pada tanah kelahiran. Hamparan bumi yang luas dengan segala pernak-perniknya hingga manusia tak perlu bingung ke mana memenuhi kebutuhannya karena semua telah tersedia. Hebatnya lagi, orang Indonesia masih saja mau mendengarkan taushiyah yang sebenarnya mereka telah ketahui. Di Negara-negara lain, belum tentu dan bahkan jarang kita menemui sekian ratus atau ribu orang berbondong-bondong untuk bersama membuka hati, mau mendengarkan da’wah ila al-Khoir dan insyaallah kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dan dari sinilah, dari hal-hal kecil yang seringkali dipandang remeh dan sepele revolusi besar akan terjadi.
Ramadhan kali ini adalah ramadhan yang istimewa, penting untuk Indonesia ke depannya. 17 Ramadhan dan 17 Agustus adalah angka keramat. Oleh karenanya, menjadi sebuah kelaziman bagi kita untuk memaknainya dan meninjaunya dari aspek historis-filosofis. Terdapat energi positif yang sengaja didoktrinkan cak Nun pada jama’ahnya. Sebuah penjelasan sekaligus propaganda yang mengajak kita untuk berbuat demi Indonesia. Hal yang mungkin oleh mayoritas orang dianggap sederhana dan tak bermakna, padahal jika kita melakukannya dengan penuh keikhlasan, tak ada yang mustahil. Semua akan terjadi, kun fayakun.
Sebagai rakyat jelata, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk Indonesia, karena rakyat jelata tak punya kedudukan, tak punya kekuasaan. Jeritan hati atas siksa hidup yang kerap menghimpit dan menindas tak pernah sampai di telinga para pejabat di sana. Jangankan peduli pada nasib orang kecil, melirik saja tak sudi. Rakyat kecil pun tak tahu kepada siapa akan mengadu. Sebagai titik akhir, Tuhan lah tempat bermuara. Memohon padaNya untuk Indonesia lebih baik.
Sebenarnya, banyak yang kuperoleh malam ini, namun sayang aku belum bisa menceritakannya secara runtut dalam tulisanku. Apa yang kutulis hanya sebatas apa yang kupahami. Salah satu hikmah yang bisa kupetik dari ngaji malam ini bahwa jadilah al-Amiin, orang yang terpercaya untuk kemudian mampu memberi pengaruh yang besar kepada setiap insan yang kau ajak bicara. Jika kepercayaan sudah tertanam, niscaya apapun yang kau katakan akan dengan mudah diamini oleh siapa yang mempercayaimu. Bahkan jika tanpa kau minta sekalipun.
0 komentar:
Posting Komentar