Sekolah Filsafat hari ini sungguh mengasyikkan. Tahu kenapa? Tentu karena aku tak ngantuk sama sekali hari ini. Padahal, dikatakan capek harusnya hari ini memang aku capek karena kemarin ke Pantai Bajul Mati, udah gitu kehujanan lagi. Dan siang tadi sekitar jam 11.15 WIB aku dan sahabat Aqilians juga FaruQ baru sampai di Malang lagi. Aku sedikit was-was, takut kalau-kalau pas sekolah filasafat aku ngantuk seperti minggu kemarin. Tapi realita tidak demikian.., beekh,, seneng rasanya.
Diskusi filsafat malam ini juga sangat mengalir, tidak monoton, siapapun boleh mengutarakan pendapatnya. Sangat mengasyikkan. Malam ini kami membahas tentang Anaximenes. Seorang filsuf selevel Thales dan Anaximandros. Tepatnya ia adalah murid dari Anaximandros yang pada akhirnya menemukan natijah baru di luar natijah sang guru –Anaximandros- yang berpendapat bahwa prinsip/ substansi makrokosmos ini hakikatnya adalah satu, yakni apeiron.
Dari hasil bertapanya, Anaximandros mendapatkan wahyu bahwa substansi dari makrokosmos ini adalah uap/udara. Jagad raya ini berasal dari satu unsur yang sama, yakni udara. Tanpa adanya udara maka alam ini pun mustahil adanya. Andai saja saat itu ia mengenal kata Tuhan dan dilontarkan sebuah pertanyaan, “siapa Tuhanmu?” kemungkinan besar Paman Anaximenes akan menjawab bahwa udara adalah Tuhanku. Hal ini bisa kita refleksikan pada Nabi Ibrahim yang saat itu juga melakukan demitologisasi. Mendobrak mitos, bahwa Tuhan adalah patung berhala yang disembah oleh nenek moyang dan keluarganya. Lalu ia mencoba menggunakan logika dan rasionalnya untuk menemukan siapa sebenarnya Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Segalanya. Siapa di balik jagad raya ini?
Saat itu, Nabi Ibrahim sempat mengakui bahwa bintang, bulan dan matahari adalah Tuhannya. Namun, sedikit demi sedikit akalnya semakin terbuka hingga akhirnya ia menemukan bahwa di balik bulan, bintang, matahari dan jagad raya ini ada sebuah kekuatan Maha Dahsyat tak tertandingi. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Esa, Allah swt yang menciptakan semua. Saya kira proses seperti itu pula lah yang dialami oleh Kakek Anaximenes. Hanya sayangnya ia tak sampai pada Tuhan Allah. Sehingga menyimpulkan bahwa yang paling substansi dari jagad raya ini adalah satu, udara. Teorinya terkenal dengan teori min (-) plus (+) Menes. “Semakin bertambah, udara akan berproses hingga menjadi gumpalan bernama awan dan juga ada angin. Dari sana akan turun hujan berupa air, dari air inilah ada tanah. Pun demikian ketika udara berkurang, ia akan menjadi api.” Sehingga dari udara inilah akhirnya tercipta mikrokosmos-mikrokosmos yang bersatu menjadi sebuah kesatuan bernama alam semesta.
Untuk memudahkan penjelasan bahwa hal paling substansial dari jagad raya adalah udara, Pak Menes menganalogikannya dengan manusia. Bahwa manusia sebagai bagian dari makrokosmos mempunyai unsur paling substansial, yakni udara yang terealisasikan dalam aktivitas bernapas. Udara bagi manusia bagaikan jiwa yang membuatnya hidup. Tanpanya manusia akan mati, hancur, sirna dan musnah. Demikian halnya dengan jagad raya ini, tanpa adanya udara niscaya jagad raya ini tak akan pernah ada. Ia akan musnah, lenyap, tak ada kehidupan.
Saat penjelasan itu kami peroleh, ada salah satu dari teman kami yang mengatakan “Wah, goblok itu Pak Menes! Mana bisa unsur paling substansial manusia adalah udara. Sudah jelas bahwa substansi manusia adalah nur Muhammad.” Mendengar pernyataan tersebut, spontan kami tertawa bersama seakan telah membuat kesepakatan sebelumnya. Berbagai tanggapan atas pernyataan tersebut akhirnya meluncur dari para filsuf yang cerdas-cerdas. “Wah, pak, sampeyan ini bagaimana? Kalau sekarang, memang kita bisa mengatakan seperti itu karena kita telah mengenal Tuhan, Muhammad dan yang lainnya. Lhawong saat itu Pak Menes belum tahu apa-apa. Mereka masih buta huruf saat itu. Dan penemuannya bahwa hal paling substansial dari jagad raya ini adalah udara merupakan sebuah kehebatan tersendiri. Ini bukan sekedar praduga, prasangka atau pra pra yang lainnya. Akan tetapi telah melalui analisis, perenungan, pertapaan dan pemikiran yang mendalam. Kita harusnya memberikan apresiasi tinggi pada Pak Menes ini. Kalau saja sampeyan hidup di zaman Pak Menes, paling-paling sampeyan tidak akan mampu berpikir demikian. Hahaha..” Demikian komentar salah satu filsuf di STF dengan sedikit nada bergurau di pernyataan akhirnya.
“Benar Pak, saya sepakat. Jika kita ingin mempelajari pemikiran seorang filsuf, maka kita harus melepaskan diri dari berbagai atribut yang telah menempel pada diri kita. Kosongkan diri kita agar siap menerima pemikiran sang filsuf. Kita harus menjadi Anaximenes, yang saat itu hidup dalam kungkungan mitos dewa dan mengalami keraguan, kejenuhan serta kebosanan tingkat tinggi atas kehidupan masyarakat yang sangat menuhankan dewa. Sampai-sampai apapun yang terjadi di jagad raya ini tergantung pada mood Dewa. Kalau Dewa sedang marah maka akan ada Tsunami, kalau Dewa sedang kencing maka turun hujan, kalau Dewa sedang baik hati maka cuaca begitu menyenangkan, demikian seterusnya. Ini sungguh tidak masuk akal sehingga pak Menes berusaha mendobraknya dan menemukan sebuah teori baru yang lebih logis dari itu.” Dukung Filsuf lainnya.
Diskusi semakin hangat terasa, semua berpendapat dengan gaya dan pola pikir masing-masing yang tentunya sangat beragam dan semakin memperkaya wawasan. Suatu hal yang sangat menyenangkan. Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 21.00 WIB sehingga diskusi harus diakhiri. Apapun, kita sedang mempelajari sejarah perkembangan keilmuan, sehingga pada dasarnya perdebatan dan perbedaan pemikiran yang muncul di antara kita bukan suatu hal yang harus kita pertengkarkan tetapi merupakan sarana untuk kita berpikir lebih luas, meninjau segala sesuatu dari berbagai sisi sehingga tidak berpikir sempit. Yang perlu kita pelajari dan ambil adalah bagaimana logika berpikir para filsuf saat itu dengan kondisi lingkungan sosial masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar