Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Peran Orang Tuan dalam Membangun Moral Bangsa


"Miris, ketika membaca surat kabar bahwa 45% di antara 700 pelajar Siswa Menengah Pertama (SMP) beranggapan bahwa mereka telah boleh melakukan hubungan intim. Bahkan yang lebih memilukan, 14% di antaranya sudah melakukan (Jawa Pos, Sabtu, 11 Februari 2012)."

Demikianlah kondisi remaja kita hari ini. Bahwa seks di luar jalur resmi pernikahan tak lagi menjadi hal tabu. Berbuat mesum di tempat-tempat terbuka seperti taman, danau, pantai dan tempat pariwisata lainnya merupakan hal wajar dan biasa-biasa saja, karena dalam mindset mereka, hal tersebut wajar bahkan menjadi sebuah kelaziman bagi pasangan yang sedang berpacaran. Hotel dan wisma-wisma penginapan pun juga mengizinkan remaja di bawah umur untuk chek-in.
Makna pacaran kian hari kian bergeser. Dahulu pacaran sekedar jalan berdua dan bercanda bersama, lalu beranjak pada bergandengan tangan, bersandar di pundak sang kekasih, dan tidur di pangkuan pujaan hati. Kini pacaran telah mencapai definisi berbuat mesum seperti berciuman dan sejenisnya. Pacaran menjadi tren dan kebanggaan. Mereka yang tidak memiliki pacar dianggap katrok dan ndeso.
Pacaran juga telah menjamah semua relung kehidupan, baik daerah perkotaan maupun pelosok desa juga pesisir. Tak ada satu tempat pun tidak mengenal kata pacaran. Pondok pesantren, yang nota bene adalah penjara suci tempat belajar agama dan moral pun telah mengenal pacaran, hanya saja model berpacaran mereka sedikit berbeda. Meski sudah ada larangan keras berpacaran, namun remaja saat ini semakin canggih saja berhubungan secara backstreet. Ini membuat pihak pesantren harus bekerja ekstra dan lebih cerdas dalam mendidik remaja hari ini.
Pelajaran moral yang diperoleh dari sekolah tak lagi berlaku. Mungkin mereka beranggapan bahwa bermoral hanya wajib ketika berada di sekolah saja, sehingga di luar sekolah merupakan area bebas moral. Ini akan berbahaya bagi masa depan individu dan juga citra Indonesia yang masyhur dengan sebutan bangsa bermoral sehingga harus segera diatasi.
Menjaga remaja Indonesia bukan 100% kewajiban Negara melainkan kewajiban semua pihak, baik secara individual sebagai makhluk berakal maupun kedudukan sosial. Peran sekolah sebagai lembaga formal pendidikan tidak bisa 100% menjamin moral siswanya, karena mereka tidak 24 jam berada di sekolah. Dari 24 jam yang ada, sebenarnya siswa lebih lama berada di luar sekolah. Terlebih jam materi tentang moral semakin dipersempit saja. Mata pelajaran pendidikan moral, sejak zaman Ir. Soekarno hingga saat ini belum menemukan titik yang pas.
Dimulai sejak tahun 1965 di mana presiden Soekarno menetapkan sistem pendidikan nasional pancasila untuk pendidikan pra sekolah hingga perguruan tinggi, lalu beralih ke presiden Soeharto di mana pendidikan moral Pancasila (PMP) mulai diajarkan untuk menggantikan pelajaran kewarganegaraan hingga saat ini yang berlabel pendidikan kewarganegaraan (PKN). Semua dilakukan untuk memperbaiki dan menjaga moral anak bangsa. Praktik-praktik moral juga kian tereduksi. Bagaimana tidak? Saat ini, mayoritas sekolah tak lagi mengajarkan siswanya untuk menjaga kebersihan secara mandiri. Piket harian sebagai praktik pendidikan menjaga kebersihan, gotong-royong, kerja sama, saling tolong-menolong dan bertanggungjawab tak lagi ada karena sudah digantikan oleh cleaning service.
Memang di satu sisi hal tersebut memberikan satu lowongan pekerjaan bagi para joblessness yang dalam praktiknya memang tidak begitu membutuhkan aspek akademik. Namun di sisi lain memberikan efek fatal karena dengan demikian siswa semakin dijauhkan dari praktik moral dalam kesehariannya. Siswa justru dilatih menjadi anak manja yang merasa jijik menyentuh benda-benda kotor. Dan mereka seringkali memandang rendah profesi cleaning service. Padahal, justru jasa mereka tak terhitung.
Siswa tak lagi dididik bagaimana bertanggungjawab terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Padahal, sekolah merupakan miniatur kehidupan masyarakat. Di mana untuk menciptakan kondisi lingkungan masyarakat yang kondusif dibutuhkan kerja sama dan tanggung jawab antar individu. Hal ini tidak dapat terjadi secara instan. Butuh proses panjang untuk menjadi manusia bertanggungjawab dan peka serta peduli terhadap sesama juga lingkungan di mana ia berada.
Belum lagi saat tiba di rumah, baju kotor tinggal taruh, lapar tinggal makan, kamar sudah dirapikan, dan butuh segala hal tinggal perintah. Semua telah beres di tangan pembantu rumah tangga. Anak selalu dimanjakan yang berakibat pada sikap malas dan selalu bergantung terhadap orang lain. Uang dari orang tua selalu mengalir, mereka bebas menggunakannya untuk apapun, sedang orang tua sibuk dengan karir masing-masing. Kasih sayang orang tua redup dan hampir sirna.
Padahal dalam perkembangannya, secara psikologis perhatian dan kasih sayang orang tua sangat dibutuhkan. Uang tidak bisa mewakili segalanya karena kasih sayang orang tua tak terbeli. Maka tidak bisa disalahkan ketika prosentase remaja yang terjebak dalam pergaulan bebas kian bertambah. Mayoritas remaja yang terjebak dalam pergaulan bebas berlatarbelakang keluarga berantakan; broken home. Karena kasih sayang yang mereka peroleh dirasa tidak cukup, mereka mencoba mencarinya di dunia luar.
Ketika mereka telah merasa menemukan teman dan hal-hal baru di luar sana, maka mereka mulai jarang pulang ke rumah. Pendidikan di sekolah pun diabaikan. Bagh mereka sekolah juga tiada guna. Dunia narkoba, miras, dan seks menjadi pilihan menggiurkan. Jika sudah demikian, barulah orang tua menyesal. Namun sayangnya, tidak sedikit pula orang tua yang masih mengabaikan anak demi karir dan bisnisnya.
Problem seperti ini harus menjadi perhatian utama orang tua. Menjadi orang tua adalah hal mulia namun tidak mudah. Tanggung jawab dan amanah utama orang tua adalah mendidik anak-anak agar kelak menjadi manusia bermoral dan membawa kemajuan bagi agama, keluarga, bangsa dan Negara. Jika demikian, maka akan tercipta kehidupan yang harmonis, sejahtera dan sentausa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar