Sebuah kata yang begitu familiar di telinga khalayak, terutama kaum muda. Sebuah kata yang sejak kelahirannya hingga saat ini belum memiliki definisi yang jelas sehingga setiap individu akan mendefinisikannya sesuai keinginan pribadi. PACARAN, kata inilah yang tak pernah usang meski tergilas zaman bahkan terus berkembang seiring dengan kemajuannya. Terlebih saat arus westernisasi tak terbendung lagi. Keintiman antara dua insan berbeda jenis bukan lagi hal yang tabu namun telah menjadi sebuah kebanggaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002:807), pacar adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Berdasarkan pada definisi inilah konstruk sosial dan pemahaman yang salah kaprah terus dilestarikan bukan dicegah atau dibasmi. Ia seakan telah menjadi sebuah kemakluman bahkan kewajiban bagi setiap remaja. Para remaja yang mencoba untuk teguh memegang prinsip ‘tidak berpacaran’ justru diisukan sebagai orang aneh, upnormal, homo/lesbi, tak laku, sok suci dan ejekan lainnya yang tentu memberikan tekanan secara psikologis. Ini merupakan realita memilukan lagi manyayat hati. Realita yang jauh dari moral yang dulu pernah diajarkan dan ditanamkan para sesepuh kita agar menjaga kehormatan dan harga diri sebagai seorang manusia berakhlak karimah.
Banyak remaja menjadikan pacaran sebagai sebuah motivasi dalam hidupnya. Benarkah demikian? Lalu untuk apa Tuhan memberikan kita orang tua, keluarga, sahabat dan kerabat jika bukan untuk saling memberi motivasi, berlomba dalam kebaikan? Akankah kita menafikan cinta, kasih dan sayang yang telah mereka berikan dan curahkan untuk kita? Tentu tidak bukan? Jika kita mau sedikit mendengarkan hati nurani, cobalah untuk bertanya padanya mengenai benar tidaknya tindakan pacaran yang sedang kita jalani. Maka ia akan memberikan jawaban kejujuran yang mungkin saja kita abaikan. Padahal, kata filsuf terkenal Socrates “Kau tidak akan pernah bahagia jika kau masih melakukan hal yang jauh di lubuk hatimu mengatakan bahwa itu salah”.
Banyak remaja berargumen bahwa pacaran adalah langkah awal untuk mengenal calon, akan tetapi benarkah demikian adanya? Mayoritas teman saya ketika ditanya, pacar ke berapa? Maka jawabannya sangat bervariasi namun jarang yang menjawab pacar pertama dan terakhir karena segera menikah. Pacaran hanya mengikuti konstruk social yang telah salah kaprah. Mengejar dan menuruti kesenangan diri belaka.
Al-Qur’an, kitab suci agama Islam sebagai pedoman kehidupan umatnya telah jelas memaparkan bahwa “alkhobiitsaatu lil khobiitsiina wal khobiitsuuna lil khobiitsaat wath thoyyibaatu lilt thoyyibaatu wath thoyyibuuna lilth thoyyibaat…الخ” Qs. An-Nur: 29. Ini adalah hukum Tuhan yang tak terbantahkan. Karena itu jika ingin mendapatkan jodoh yang baik, berbuatlah baik. Demikian juga jika di masa muda begitu semangat berpacaran, maka tidak menutup kemungkinan bahkan hampir bisa dipastikan akan mendapatkan jodoh yang hobi berpacaran pula.
Meski demikian, bukan berarti saya mengklaim dan menyimpulkan bahwa mereka yang berpacaran lebih jelek, berakhlak sayyiah, pasti masuk neraka dan lain-lain sedang yang tidak berpacaran pasti berakhlak karimah, masuk surga dan sholeh/sholehah. Bukan demikian, karena kebaikan seseorang tidak hanya diukur dari satu sudut saja yakni pacaran atau tidaknya seseorang. Filsafat mengajari kita untuk bersikap kritis, dalam artian tidak dengan mudah mengatakan ‘ya’ atau ‘tidak’, tidak dengan mudah mengkafirkan seseorang hanya berdasar pada satu aspek saja. Akan tetapi filsafat mengajari kita untuk mempunyai world view/ wawasan dan pandangan yang luas, menyelamatkan kita dari kepicikan, kesempitan, kekakuan dan kesalahan dalam berpikir.
Namun bagaimanapun, terlepas dari semua pro-kontra dan positif-negatifnya, semua kembali kepada individu masing-masing. Sebagai saran, meninggalkan dunia pacaran dan segera menikah jika memang telah siap dhohir bathin adalah pilihan yang baik.