“Jer
Basuki Mawa Beya”
Seringkali ungkapan Jawa tersebut didengungkan oleh hampir semua lapisan masyarakat. Secara umum, ungkapan tersebut memiliki makna setiap keinginan, cita-cita dan kebahagiaan pasti membutuhkan biaya (Pardi, 2009: 120). Dari ungkapan tersebut, hendaknya kita tidak salah tafsir atas kata beya yang berarti biaya. Bahwa biaya tidak selalu identik dengan uang. Akan tetapi beya yang dimaksud adalah segala hal yang dilakukan dan diberikan untuk mencapai cita-cita, keberhasilan dan kebahagiaan, baik itu berupa keuletan, waktu, tenaga, pikiran, juga termasuk uang di dalamnya.
Sebagaimana
kita ketahui bersama, tak ada seorang pun yang berhasil tanpa adanya usaha.
Kita ambil satu contoh, seorang siswa menginginkan menjadi juara kelas setelah
sekian lama tertinggal jauh di belakang. Jika ia hanya menginginkan tanpa ada
usaha belajar lebih keras, meluangkan sedikit banyak waktu, tenaga dan
pikirannya untuk kembali mengulas pelajaran yang telah diperoleh dan terus
bertanya kala menemui kesulitan, maka mustahil cita-citanya untuk menjadi juara
kelas akan terwujud.
Dalam
skala lebih besar, seseorang yang menginginkan untuk menjadi Dosen misalnya,
maka ia harus memperbaiki kualitas dirinya agar ia layak menjadi seorang Dosen.
Ia harus mengorbankan waktu sekian lama untuk belajar, menjadikan dirinya
berkualitas sehingga layak menjadi seorang dosen sehingga saat mengajar tidak
ala kadarnya saja. Jika hal ini benar-benar terealisasi pada jiwa setiap mereka
yang hendak menjadi Dosen niscaya pendidikan Indonesia akan maju dengan
pesatnya dalam waktu singkat. Namun sayang, dewasa ini banyak anomali terjadi
di masyarakat kita yang cenderung berpikir praktis, sesaat, serba instan, dan
semakin melemahnya rasa ketuhanan dalam diri.
Banyak
orang jadi Dosen bukan karena ia layak, tak sedikit pelajar dan mahasiswa
mendapat ijazah padahal ia tak menempuh sekolah, hanya dengan segepok uang
semua bisa dicapai. Parahnya mereka menganggap itu semua sebagai interpretasi
atas idiom Jawa Jer Basuki Mawa Beya. Bahwa segalanya butuh pada biaya;
uang. Andai paradigma seperti ini dibiarkan merasuki setiap jiwa orang Jawa,
niscaya hidup ini akan amburadul, Wong Jowo wes ra ngerti Jawane. Dan
kita benar-benar telah memasuki zaman Kaliyugo; zaman terakhir dalam ajaran
Hindu, di mana kepuasan hati menjadi tujuan utama manusia. Di zaman ini apabila
segala kebutuhan dan keinginan manusia yang bersifat duniawi baik itu berupa
harta kekayaan maupun tahta kedudukan telah terpenuhi maka puaslah ia. Kehidupan
semakin jauh dari nilai-nilai uluhiyah yang mengajarkan manusia untuk
jujur, saling menghargai dan menghormati, bersama menciptakan perdamaian dunia,
masing-masing individu berbuat untuk kesenangan orang lain dan berjalan di atas
jalan dharma. Karenanya, marilah kita bersama mengembalikan zaman ini pada
zaman Kartayuga agar tercipta kehidupan yang sejahtera, damai tanpa adanya
kerusuhan.
0 komentar:
Posting Komentar