Mata
ini masih saja ingin terpejam. Padahal tadi siang 4 jam dari waktuku yang
teramat berharga telah disitanya untuk terpejam. Jika terus kuturuti inginnya,
maka mati sajalah. Untuk apa hidup jika hanya dipenuhi dengan tidur dan tidur. Rugi
ndunyo akherot. Menyia-nyiakan waktu yang telah dianugerahkannya. Tak
mensyukuri nikmat longgar yang tidak semua orang dapat menikmatinya. Padahal,
firmanNya:
وإذ تأذّن وبكم لئن شكرتم لأزيدنّكم ولئن كفرتم
إنّ عذابي لشديد (إبواهيم : 7)
Jelas
sudah kita (terutama aku) harus memanfaatkan nikmat kesempatan yang
diberikanNya dengan sebaik mungkin. Mengisi hidup ini dengan berbagai hal
bermanfaat dalam rangka beribadah kepadaNya yang sejatinya juga untuk diri kita
sendiri.
Malam
ini, aku telah bertekad untuk tidak menuruti kehendak nafsu. Aku tak ingin
tidur maupun tertidur. Tak ada alasan bagi mataku untuk terpejam. Banyak hal
yang bisa dilakukan di bulanMu yang suci ini selain tidur. Memang, tidur juga
merupakan wujud suatu ibadah. Namun, bukan ibadah yang diutamakan. Tidur
hanyalah ibadah untuk diri sendiri, dampaknya juga untuk diri sendiri sehingga
pahalanya pun hanya sedikit saja; untuk diri sendiri. Jika ada ibadah yang
berdampak luas, untuk kebaikan banyak orang, lalu mengapa memilih yang hanya
untuk kepentingan diri sendiri? Orang pelit berarti jika demikian. Bukankah, “Al-Khoiru
al-Muta’addi afdholu min al-Qooshir”?
Susah
aku mengusir kantuk. Mata terpejam sesaat, lalu ku bawa ia jalan-jalan menyapa
sekeliling. Kantuk hilang, aku kembali berkutat di depan computer. Lama
berjibaku dengan laptop, namun tak satu katapun tertuliskan. Buntu otak ini
terasa. Opening facebook menjadi pilihan untuk selamat dari
kantuk yang menyerbu kedua bola mataku. Sepulang teman-teman dari sholat
tarawih, aku ikut ngopi di warkop ‘Suantai’ bersama teman-teman dari Mandagi. Ditemani
secangkir kopi dengan beberapa jenis gorengan kami bercanda bersama. Topik
utama malam ini adalah kisah cinta dua temanku yang sedang genting; di ujung
tanduk. Jika sinetron FTV SCTV telah mencapai titik klimaks.
Singkat
cerita atau bisa pula disebut sinopsis; pacarnya adalah tipe insan protektif dan
pencemburu. Tak ada siapapun kaum hawa boleh dekat dengan sang kekasih selain
dirinya. Di lain sisi, si cowok bisa dikatakan termasuk kategori salah satu
insan berjiwa organisatoris sehingga mengharuskannya berhubungan dengan banyak
orang, tak terkecuali makhluk Tuhan bernama perempuan. Inilah yang memicu
terjadinya perseteruan di antara mereka.
Sedang
kisah ringkas teman keduaku, cowoknya adalah seorang yang keras kepala. Segala
kesalahan yang terjadi dalam hubungannya dilimpahkan pada si cewek. Tak jarang
kata-kata hujatan ‘kamu itu gak care, gak mau ngertiin aku, maunya Cuma
dingertiin, nggak dewasa tapi sok dewasa, dst…’ menghujani hari-hari pacaran
mereka yang seharusnya dipenuhi romantisme percintaan. Sedang si cewek,
daripada harus berseteru, ia memilih diam sebagai sebuah tindakan penyelamat
hubungan. Namun, lama-kelamaan sepertinya ia telah lelah dengan diam. Karena
nyatanya, diam tak dapat melunakkan hati kekasihnya yang sekeras batu itu.
Demikianlah
jika kita membahas cinta. Kata pangeran Tien feng (Cu Pat Kai,
dalam film Sunghokhong), “Cinta, o cinta. Deritanya tiada akhir.” Dalam
bercinta tentulah ada suka dan duka. Keduanya adalah bumbu kehidupan yang tak
terpisahkan. Datang silih berganti mewarnai dan mengisi hidup. Setiap insan
memiliki kisahnya sendiri, yang hanya ia sendiri yang dapat mengerti dan
memahami.
Teruntuk
sahabatku yang sedang dilanda kegalauan cinta, kuucapkan: “Dengan siapapun kita
berhubungan, masalah dan ketidakcocokan tak terhindarkan secara mutlak.
Jangankan masih dalam tahap berpacaran, dalam tahap berumah tangga saja, problem
dapat dipastikan adanya. Jika tak ingin menghadapi permasalahan seputar
pacaran, ya sudah tak usah berpacaran. Karena itu adalah pilihan. Ketika kamu
merasa terjajah dan tak mampu meski untuk sekedar berkata ‘Tidak’ sebagai wujud
pembelaan diri, maka katakan sejujurnya. Agar terurai simpul-simpul yang selama
ini terikat tak beraturan itu. Aku dan siapapun yang berada di luar hubungan
kalian sama sekali tak berhak mengadili ataupun menghakimi, karena kami tak
tahu bagaimana kalian menjalani hubungan itu; karena kami sekedar menilai apa
yang tampak oleh kasat mata, apa yang terdengar oleh telinga, bukan membaca
hati dan yang sesungguhnya terjadi. Hanya kalian yang tahu apa dan bagaimana
seharusnya. Coba gali dan akui dengan penuh kejujuran, di mana letak
kesalahannya. Jika bisa diperbaiki, perbaikilah! Jika tidak, tetap selesaikan
baik-baik, dengan jalan damai dan atas nama kebaikan kedua belah pihak.
Karena
jika demikian, itu berarti kau telah terkalahkan. Jika kau merasa tak berdaya
olehnya, ambil satu langkah untuk membebaskan dirimu dari ketidakberdayaan itu.
Karena terkadang, untuk mengerti dan memahami, butuh terlepas darinya. Setiap
kita pasti pernah berada pada banyak situasi-kondisi berbeda dalam waktu yang
berbeda pula. Nikmati saja semua, karena suatu saat nanti kau pasti akan
temukan, di mana kau harus berada, jalan mana yang akan kau pilih dan dengan
siapa kau akan menempuhnya. Meski itu harus kembali ke masa, tempat dan
personil lampau pula. Setiap keputusan mempunyai resiko tersendiri. Pun
demikian dengan keputusan dalam sebuah hubungan. Luka itu pasti, karena berani
mencintai maka harus berani kehilangan yang itu berarti terlukai. Namun, tak
mungkin bukan kita akan larut dalam kesedihan putus cinta?”
Indahnya hidup jika dinikmati |
Jam
terus berdetak, matahari tetap terbit, hari tetap berlalu meski kau sedang
dirundung luka cinta. Kegalauanmu sama sekali tak mempengaruhi jadwal dinas
mereka karena itu adalah hukum alam yang tak terelakkan sebagai interpretasi
ketaatan atas titah Tuhannya. Kau akan bangkit menghadapinya dengan segala
resiko atau kau akan tetap terpuruk, tersungkur di alam penderitaan adalah
pilihanmu sendiri. Karenanya, choose the best choice for u’r self.
Selesai
ditulis pada Selasa, 7 Agustus 2012
Jam 03:12
dini hari
0 komentar:
Posting Komentar