Indahnya
alam desaku. Angin semilir membelai rambutku dengan lembut. Padi-padi di sawah
pun meliuk-liuk indah, menikmati segarnya udara pedesaan. Aku duduk termenung
di teras rumah, dengan secangkir kopi di tangan ku hirup udara tak berpolusi
di pagi ini. Sesaat pandanganku tertuju pada orang-orang yang sedang berjajar
di tengah sawah, dengan serempak mereka membenamkan padi pada tanah sawah. Dengan
harapan kelak panen melimpah ruah, untuk makan sehari-hari juga memenuhi
kebutuhan hidup lainnya.
Namun
sayang, keluh kesah para petani membuat tak tenang hatiku akhir-akhir ini. Hati
perih tercabik-cabik keresahan petani atas nasib yang tak berpihak. Hasil sawah
yang susah payah dikelola tak mampu penuhi kebutuhan sehari-hari, anak-anak
mereka tak sampai di bangku sekolah hanya karena masalah biaya, mereka juga tak
mampu membelikan mainan anak-anaknya karena beragam jenis permainan modern kini
kian melambung harganya. Permainan tradisional pun kian terkebiri.
Hari
ini, paradigma orang kebanyakan tak merelakan anak-anaknya untuk menyentuh
tanah sawah, mereka menginginkan anaknya sekolah tinggi lalu memperoleh pekerjaan
yang enak lagi nyaman. Kerja kantoran, bank, perusahaan, guru, dan beragam jenis
PNS selalu menjadi incaran. Jika sudah
menjadi PNS, maka hidup seolah lancar, uang mengalir, kerja tak kerja tetap
digaji, masih ada uang tunjangan juga gaji pensiunan, anak cucu terjamin, tak
perlu khawatir, ASKES untuk menjamin kesehatan pun tersedia, dan tak jarang
fasilitas seperti kendaraan juga tinggal pakai; free 24 jam. Lantas jika
demikian siapa yang akan menggantikan para petani itu kelak? Siapa yang akan
mengolah tanah pertanian Negari ini? Bukankah Indonesia Negara Agraris? Akankah
tanah-tanah subur itu dihibahkan untuk tempat berdiri pabrik-pabrik, ruko-ruko
dan istana-istana kaum kapitalis lainnya? Akankah negeri ini menjadi lahan uang
bagi kaum barat?
Iming-iming
inilah yang menjadikan orang kebanyakan sangat menginginkan anak-anaknya
menjadi PNS dan memandang rendah pekerjaan lain. Tidakkah tindakan demikian
berarti bahwa mereka mengkerdilkan kuasa Tuhan? Jangan sekali-kali kita
mengkerdilkan kuasaNya. ‘Kalau tidak PNS tidak bisa hidup bahagia’
adalah mindset yang harus segera di delete dari memori otak masyarakat
masa kini. “Lha opo mbok kiro pengeran ki pelit tur miskin, Lhawong pengeran
kuwi sugih. Menei rejeki ora gor teko PNS. Iso lewat tani, dagang lan sak
pinunggalane.” Nasihat Romo Yai Ayyub Ahdian Syams kemarin kembali terlintas
di benakku. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Betapa tak ada apa-apanya
manusia dibandingkan kuasaNya. Tak ada satu pekerjaan pun yang hina, dan tak akan
ada hambaNya yang mati kelaparan hanya karena tidak menjadi PNS. Selama ia mau
berusaha, Tuhan selalu memberikan jalan. ‘where there is a will there is a
way’.
Tuhan
memang memerintahkan manusia agar berusaha dan bekerja untuk mempertahankan
hidup dan kehidupan. Tapi bukan berarti untuk mengejar dunia dan menguasainya.
Dunia hanyalah sarana untuk sampai pada alam kekekalan. Dunia adalah media
untuk beribadah kepadaNya. Kalau kata cak Nun dalam syairnya, “Siapa yang
cinta, siapa yang cinta kepada dunia. Siapa yang rindu, siapa yang rindu kepada
dunia. Dunia akan, dunia akan meninggalkannya. Dunia akan, dunia akan
meninggalkannya.” Karenanya, tak usah memburu untuk jadi PNS. Kiranya,
mengolah alam sekitar tempat kita tinggal dengan baik lebih mulia sebagai
pengejawentahan ibadah manusia sebagai kholifatullah fil ardh. Bagi
mereka yang tinggal di daerah peternakan, beternaklah hewan-hewan dengan baik,
bagi mereka yang tinggal di daerah tambak, olah pertambakan dengan baik, bagi
mereka yang tinggal di daerah pertanian, jagalah tanah agar tetap subur dan
bertanilah dengan baik. Demikian seterusnya hingga tercipta kehidupan yang
sejahtera. Tak ada jual beli jabatan. Pun demikian tak ada jabatan termulia
melainkan sebuah ketakwaan. إنّ أكرمكم عند الله اتقكم.
0 komentar:
Posting Komentar