Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Petani Vs PNS



Indahnya alam desaku. Angin semilir membelai rambutku dengan lembut. Padi-padi di sawah pun meliuk-liuk indah, menikmati segarnya udara pedesaan. Aku duduk termenung di teras rumah, dengan secangkir kopi di tangan ku hirup udara tak berpolusi di pagi ini. Sesaat pandanganku tertuju pada orang-orang yang sedang berjajar di tengah sawah, dengan serempak mereka membenamkan padi pada tanah sawah. Dengan harapan kelak panen melimpah ruah, untuk makan sehari-hari juga memenuhi kebutuhan hidup lainnya.
Namun sayang, keluh kesah para petani membuat tak tenang hatiku akhir-akhir ini. Hati perih tercabik-cabik keresahan petani atas nasib yang tak berpihak. Hasil sawah yang susah payah dikelola tak mampu penuhi kebutuhan sehari-hari, anak-anak mereka tak sampai di bangku sekolah hanya karena masalah biaya, mereka juga tak mampu membelikan mainan anak-anaknya karena beragam jenis permainan modern kini kian melambung harganya. Permainan tradisional pun kian terkebiri.
Hari ini, paradigma orang kebanyakan tak merelakan anak-anaknya untuk menyentuh tanah sawah, mereka menginginkan anaknya sekolah tinggi lalu memperoleh pekerjaan yang enak lagi nyaman. Kerja kantoran, bank, perusahaan, guru, dan beragam jenis PNS selalu  menjadi incaran. Jika sudah menjadi PNS, maka hidup seolah lancar, uang mengalir, kerja tak kerja tetap digaji, masih ada uang tunjangan juga gaji pensiunan, anak cucu terjamin, tak perlu khawatir, ASKES untuk menjamin kesehatan pun tersedia, dan tak jarang fasilitas seperti kendaraan juga tinggal pakai; free 24 jam. Lantas jika demikian siapa yang akan menggantikan para petani itu kelak? Siapa yang akan mengolah tanah pertanian Negari ini? Bukankah Indonesia Negara Agraris? Akankah tanah-tanah subur itu dihibahkan untuk tempat berdiri pabrik-pabrik, ruko-ruko dan istana-istana kaum kapitalis lainnya? Akankah negeri ini menjadi lahan uang bagi kaum barat?
Iming-iming inilah yang menjadikan orang kebanyakan sangat menginginkan anak-anaknya menjadi PNS dan memandang rendah pekerjaan lain. Tidakkah tindakan demikian berarti bahwa mereka mengkerdilkan kuasa Tuhan? Jangan sekali-kali kita mengkerdilkan kuasaNya. ‘Kalau tidak PNS tidak bisa hidup bahagia’ adalah mindset yang harus segera di delete dari memori otak masyarakat masa kini. “Lha opo mbok kiro pengeran ki pelit tur miskin, Lhawong pengeran kuwi sugih. Menei rejeki ora gor teko PNS. Iso lewat tani, dagang lan sak pinunggalane.” Nasihat Romo Yai Ayyub Ahdian Syams kemarin kembali terlintas di benakku. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Betapa tak ada apa-apanya manusia dibandingkan kuasaNya. Tak ada satu pekerjaan pun yang hina, dan tak akan ada hambaNya yang mati kelaparan hanya karena tidak menjadi PNS. Selama ia mau berusaha, Tuhan selalu memberikan jalan. ‘where there is a will there is a way’.
Tuhan memang memerintahkan manusia agar berusaha dan bekerja untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Tapi bukan berarti untuk mengejar dunia dan menguasainya. Dunia hanyalah sarana untuk sampai pada alam kekekalan. Dunia adalah media untuk beribadah kepadaNya. Kalau kata cak Nun dalam syairnya, “Siapa yang cinta, siapa yang cinta kepada dunia. Siapa yang rindu, siapa yang rindu kepada dunia. Dunia akan, dunia akan meninggalkannya. Dunia akan, dunia akan meninggalkannya.” Karenanya, tak usah memburu untuk jadi PNS. Kiranya, mengolah alam sekitar tempat kita tinggal dengan baik lebih mulia sebagai pengejawentahan ibadah manusia sebagai kholifatullah fil ardh. Bagi mereka yang tinggal di daerah peternakan, beternaklah hewan-hewan dengan baik, bagi mereka yang tinggal di daerah tambak, olah pertambakan dengan baik, bagi mereka yang tinggal di daerah pertanian, jagalah tanah agar tetap subur dan bertanilah dengan baik. Demikian seterusnya hingga tercipta kehidupan yang sejahtera. Tak ada jual beli jabatan. Pun demikian tak ada jabatan termulia melainkan sebuah ketakwaan. إنّ أكرمكم عند الله اتقكم.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar