Tanpa
sebuah perencanaan yang matang, buka bersama teman-teman PBA PKLI Masanega
berlangsung sangat indah. Berawal saat aku, awik, muhem dan sauntiL ready to
roadshow pagi jelang siang tadi, sekitar pukul 10.00 WIB. Roadshow
ini pun tanpa rencana pula. “Eh, kalian sekalian cari tempat yang asyik buat
BUBER ya!” Titah pak ket kita; Achmad Rifqiy al-Nabiil. “BUBERnya siapa Qiey?”
tanyaku wapol (dengan ekspresi wajah polos). “Ya buat kelompok PKLI kita lah,
masa buat lokasi kencanku.” Jawabnya dengan nada bercanda. “Waw, okke. Siap Pak
Ket sayang.” Sahut Awik cengar-cengir. Mendengar jawaban Awik, pak ket
senyam-senyum, malu-malu kucing.
Kami
road show ke pasar besar dengan menenteng segepok proposal di tangan,
namun kembali dengan tangan hampa. Menyedihkan memang, mengajukan proposal kami
harus pontang-panting sana-sini. Mengesampingkan semua rasa malu. Seperti pengemis
rasanya, hanya saja yang ini pengemis cerdas mungkin. Sedikit terhormat karena
atas nama instansi dan untuk kepentingan bersama, bukan individual. Masuk dari
satu toko ke toko yang lain, dari satu CV ke CV yang lain, dari satu PT ke PT
yang lain. Segala jenis instansi kami kunjungi untuk menyukseskan acara PM
(Pengabdian Masyarakat) kami di Desa Sepanjang-Gondanglegi. Dari 10 toko yang
kami kunjungi, alih-alih satu saja menerima dengan baik dan berkenan
menyumbang, belum sampai uluk assalamu’alaikum, baru buka pintu, tulisan
“TIDAK MENERIMA PERMINTAAN SUMBANGAN DALAM BENTUK APAPUN” menyambut kami dengan
wajah manisnya.
Jika
sudah demikian, menyembunyikan proposal lalu pura-pura salah masuk toko atau
sekedar lihat-lihat sembari berucap, “Wah, barang yang kita cari kok gak ada
ya, kita coba cari di tempat lain yuk kalau gitu.” Menjadi senjata paling
ampuh. Sambil melangkahkan kaki keluar toko kami menyapa, “mari mbak, makasih.”
Kepada petugas toko yang standby di sana. Sesampainya di luar toko, tawa yang
sejak semula ditahan tersalurkan. Kami tertawa terbahak-bahak. Sungguh pengalaman
indah bersama teman-teman PKLI yang tak terasa akan segera berakhir. Waktu begitu
cepat berlalu. Tak ingin rasanya mengakhiri semua ini. Kami sudah seperti
keluarga.
Jam
16.00 WIB setelah keliling mencari lokasi yang asyik untuk BUBER kami kembali
ke POSKO PKLI PBA UIN Maliki. Sesampainya di kos kami langsung menginfokan agar
teman-teman segera berbenah diri untuk segera berangkat menuju lokasi BUBER. Jam
17.00 WIB kami berangkat. Bertempat di warung lesehan depan kuburan dekat pasar
Gondanglegi kami menyerbu penjual untuk menghidangkan pesanan kami. Ramai sekali,
sambil cacap cuap sana-sini kehangatan kekeluargaan kian terasa. Di sana kami
bertemu dengan seorang kakek tua dengan dua cucunya. Beliau tampak diam, hanya
beberapa patah kata dengan bahasa arab dilontarkannya. Sedang cucunya asyik
ngobrol dengan mas Mahend. Dan kebetulan, aku tak benar-benar memperhatikan. “Eh
Tin, minta maaf ke bapaknya, kita udah buat suasana di sini rame.” Bisik
Rifqiey padaku. “Iya Qiey, gak penak kita ma beliau. Kan beliau yang
datang ke sini duluan, e… kita datang-datang tiba-tiba rame.” Balasku. “Lha
iya, makane Tin, ayo minta maaf.” Timpal Riefqiy. “Ayo, kamu ya yang ngomong. Gini
ngomongnya, ya ab, nasta’fiikum. Nuwaswisukum hadzal masa’.” Kami mencoba
menyusun kata-kata yang tepat. Namun entah mengapa akhirnya kami tak jadi
mengutarakan maksud kami, hingga adzan berkumandang dan kami buka bersama.
Tak
lama selesai makan bersama, kakek itu tiba-tiba membayar semua makanan kami
sore itu. Subhanallah, kami tercengang, tiada kata yang dapat kami ucap. Mulut kami
membisu, mata kami tak lepas dari tatapan heran lagi kagum atasnya, telinga
kami mencoba meyakinkan bahwa apa yang kami dengar adalah benar adanya. Barulah
ketika si mbah berpamitan, “Thoyyib, ana awalan. Syukron.” Kami tersadar
bahwa kami belum sempat berterimakasih padanya. Serempak kami berucap ‘terima
kasih abah’. “Afwan.” Simpel ia membalas sambil berlalu meninggalkan kami.
Subhanallah,
laa haula wa laa quwwata illa billah, allahu akbar, alhamdulillah. Di tengah-tengah kami selalu
ditolak saat mengajukan proposal yang membuat kami berprasangka bahwa kini jarang
ada orang mau dengan suka hati bersedekah, Abah yang baru saja kami temui telah
merubah prasangka itu dalam sekejap. “Kok ya ada orang sebaik beliau ya,” gumam
kami masih terheran dan terkesan. Do’a-do’a untuknya melantun begitu saja dari
mulut kami. Tanpa direncanakan tanpa pula dipaksakan. Indahnya hidup jika semua
orang berbuat tanpa pamrih kecuali hanya RidhoNya. Syukron ya Ab, jazakumullah
khaoiron. Hanya itu yang saat ini dapat kami berikan. Semoga kelak kami
(dan akan terlahir) menjadi orang yang suka bersedekah sepertimu. Amiin.
Selesai ditulis pada Senin, 6
Agustus 2012
Pukul 01:43 WIB dini hari
0 komentar:
Posting Komentar