Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Bangsa Tanpa Ideologi



Ideologi menjadi satu keharusan bagi seorang pemimpin, terlebih seorang pemimpin Negara. Sebagai orang nomor satu di dalam sebuah Negara, maka segala tutur kata, tindak-tanduk, dan sikapnya selalu menjadi sorotan, tontonan sekaligus panutan bagi rakyat yang dipimpin. Oleh karenanya, jika sang pemimpin tak memiliki warna (baca: ideologi) yang pasti, tentu rakyat dan Negara akan terombang-ambing alias menjadi korban dari keabu-abuan sang pemimpin.
Dengan ideologi yang jelas, bangsa akan dengan mudah menentukan arah dan langkah dalam membawanya pada sebuah kemajuan atau mempertahankan diri dari musuh yang tengah merongrong. Dengan ideologi yang jelas pula, bangsa tak akan kehilangan identitas dan jati diri sehingga tak terjajah oleh bangsa lain.
Jika hari ini, rakyat tengah bingung dan limbung mengenai identitas dan jati  dirinya, maka dapat dikatakan bahwa pemimpin kita hari ini telah kehilangan atau mungkin memang tak berideologi.
Rakyat tak pernah tahu apakah alfamart, KFC, Mc. Donnal dan semacamnya merupakan produk kapitalis, sehingga tempat-tempat tersebut menjadi kunjungan utama warga Indonesia. Masuk ke tempat tersebut seolah menjadi kebanggaan tersendiri dan merasa menjadi kaum elit. Telah banyak dari warga kita hari ini yang merasa jijik untuk menginjakkan kaki di pasar-pasar tradisional. Mayoritas mereka yang masih bertahan di sana berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Hal ini tidak lain karena para pemimpin bangsa ini telah berafiliasi dengan pihak-pihak tertentu demi keuntungan yang bersifat pribadi.
Segala yang berkaitan dengan kemewahan dan pola hidup konsumtif selalu disuguhkan di seluruh media yang ada, baik cetak maupun elektronik seperti televisi dan radio. Sehingga tanpa sadar, masyarakat kita hari ini tengah tergiring untuk meninggalkan pola hidup sederhana dan tidak serakah yang dalam ajaran jawa disebut urep ing madya menuju pola hidup glamour, bermewah-mewahan dan menghambur-hamburkan uang.
Dengan demikian, mereka akan menjadi masyarakat individualis-konsumtif. Jurang antara si kaya dan si miskin kian menganga lebar. Pemimpin yang seharusnya menyetarakan justru membuatnya kian lebar dan curam. “Kondisi demikian oleh Jean Baudrillard disebut sebagai model masyarakat konsumtif.” Jelas Ahmad Juhairi selaku pemateri diskusi di Pesantren Global Tarbiyatul Arifin (14/06).
Mahasiswa pasca sarjana UGM tersebut mengajak para santri Pesantren Global untuk membaca eksistensi Negara Indonesia di tengah globalisasi yang terus menggempur dari berbagai arah. Mahasiswa yang sangat mencintai forum-forum diskusi ini juga mengajak kaum muda untuk tidak hanya diam dan berhenti pada diskusi semata, melainkan juga mengajak masyarakat untuk melakukan gerakan-gerakan sporadis guna memboikot segala produk kapitalis.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar