Ideologi menjadi satu keharusan
bagi seorang pemimpin, terlebih seorang pemimpin Negara. Sebagai orang nomor
satu di dalam sebuah Negara, maka segala tutur kata, tindak-tanduk, dan
sikapnya selalu menjadi sorotan, tontonan sekaligus panutan bagi rakyat yang
dipimpin. Oleh karenanya, jika sang pemimpin tak memiliki warna (baca:
ideologi) yang pasti, tentu rakyat dan Negara akan terombang-ambing alias
menjadi korban dari keabu-abuan sang pemimpin.
Dengan ideologi yang
jelas, bangsa akan dengan mudah menentukan arah dan langkah dalam membawanya
pada sebuah kemajuan atau mempertahankan diri dari musuh yang tengah
merongrong. Dengan ideologi yang jelas pula, bangsa tak akan kehilangan
identitas dan jati diri sehingga tak terjajah oleh bangsa lain.
Jika hari ini, rakyat
tengah bingung dan limbung mengenai identitas dan jati dirinya, maka dapat dikatakan bahwa pemimpin
kita hari ini telah kehilangan atau mungkin memang tak berideologi.
Rakyat tak pernah tahu
apakah alfamart, KFC, Mc. Donnal dan semacamnya merupakan produk kapitalis,
sehingga tempat-tempat tersebut menjadi kunjungan utama warga Indonesia. Masuk
ke tempat tersebut seolah menjadi kebanggaan tersendiri dan merasa menjadi kaum
elit. Telah banyak dari warga kita hari ini yang merasa jijik untuk
menginjakkan kaki di pasar-pasar tradisional. Mayoritas mereka yang masih
bertahan di sana berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Hal ini tidak lain
karena para pemimpin bangsa ini telah berafiliasi dengan pihak-pihak tertentu
demi keuntungan yang bersifat pribadi.
Segala yang berkaitan
dengan kemewahan dan pola hidup konsumtif selalu disuguhkan di seluruh media
yang ada, baik cetak maupun elektronik seperti televisi dan radio. Sehingga
tanpa sadar, masyarakat kita hari ini tengah tergiring untuk meninggalkan pola
hidup sederhana dan tidak serakah yang dalam ajaran jawa disebut urep ing madya
menuju pola hidup glamour, bermewah-mewahan dan menghambur-hamburkan uang.
Dengan demikian, mereka
akan menjadi masyarakat individualis-konsumtif. Jurang antara si kaya dan si
miskin kian menganga lebar. Pemimpin yang seharusnya menyetarakan justru membuatnya
kian lebar dan curam. “Kondisi demikian oleh Jean Baudrillard disebut sebagai
model masyarakat konsumtif.” Jelas Ahmad Juhairi selaku pemateri diskusi di
Pesantren Global Tarbiyatul Arifin (14/06).
Mahasiswa pasca sarjana
UGM tersebut mengajak para santri Pesantren Global untuk membaca eksistensi Negara
Indonesia di tengah globalisasi yang terus menggempur dari berbagai arah. Mahasiswa
yang sangat mencintai forum-forum diskusi ini juga mengajak kaum muda untuk
tidak hanya diam dan berhenti pada diskusi semata, melainkan juga mengajak
masyarakat untuk melakukan gerakan-gerakan sporadis guna memboikot segala produk
kapitalis.
0 komentar:
Posting Komentar