“Kyai,
jika seorang muslim ketika ingin beribadah ia mengalami banyak hambatan
sehingga itu hanya berhenti pada keinginan tanpa adanya tindakan, bagaimana
mengatasinya?” Tanya seorang santri kepada Ustadz Diyauddin Kuswandi dalam sesi
tanya-jawab ngaji rutin Pesantren Global malam itu (18/06).
Dengan
mengutip pendapat imam al-Ghazali mengenai hambatan dalam beribadah, ustadz
yang dulu pernah menjabat sebagai senat mahasiswa di tahun 1984 itu menjelaskan,
bahwa dalam melaksanakan ibadah manusia akan menghadapi 3 hambatan:
Pertama,
bimbang. Sebagai contoh, si Fulan mau berangkat ngaji ke Pesantren Global.
Ketika akan berangkat, tiba-tiba muncul berbagai asumsi di benaknya. ‘Kira-kira
tema malam ini apa ya? Badanku terasa lelah, nanti kalau di sana akhirnya aku
ngantuk kan sama saja. Mending nggak berangkat saja sekalian. Belum besok pagi
masih banyak yang harus dikerjakan.’ Dari asumsi-asumsi tersebut, si Fulan
terjebak dalam kebimbangan yang tak seharusnya menjadikannya risau. Ketika
seseorang tengah bimbang, ia tak akan mampu mengambil keputusan, dan tanpa ada
keputusan maka mustahil tindakan akan ada.
Kedua,
malas. Si Fulan telah lolos dari rasa bimbang dan ia telah mengambil keputusan
untuk berangkat ngaji dengan segala resiko yang ada. Tiba-tiba, rasa malas
muncul. ‘Aduh, berangkat nggak ya? Kok malas gini. Udah gerimis nggak juga
usai, sendiri lagi. Huft…minggu depan aja deh, siapa tau ada temannya trus
kayaknya minggu depan jadwalku nggak begitu padat juga.’ Rasa malas membuat
si Fulan mencari-cari alasan untuk pada akhirnya tidak pergi ngaji.
Ketiga,
bosan. ‘Masa iya setiap selasa dan jum’at ngaji terus. Sekali waktu boleh
dong memanjakan diri. Shopping ke mall, menikmati keindahan malam di alun-alun
kota, atau nonton film aja.’ Rasa bosan akan rutinitas yang dilakukan
secara kontinu merupakan sebuah kewajaran yang harus diatasi. Karena sekali
meninggalkan ngaji dan menggantinya dengan kegiatan yang lebih bersifat
menuruti hawa nafsu atau kesenangan semata, ia akan terasa berat untuk kembali
menekuni rutinitasnya. “Bisa-bisa justru beralih aliran nanti.” Terang Kyai
diiringi tawa ringan.
Ketika
ketiga hambatan tersebut terus membelenggu diri, maka motivasi paling mudah dan
mujarab hanya satu, “rekreasi ke kuburan” ungkap kyai asal Lamongan disertai
tatapan heran santri penuh tanda tanya. Sedang pak ustadz membalas pandangan
itu dengan diam seolah membiarkan santri hanyut dalam keheranan mereka.
Lama
melihat para santri bengong keheranan, pak ustadz yang oleh kawan-kawan semasa
kuliahnya dijuluki Nur Kholis kecil ini memaparkan, bahwa untuk terbebas dari
hambatan tersebut manusia harus ingat mati. Dan untuk mengingat kematian, salah
satu hal yang bisa dilakukan adalah ziarah kubur, merenung bahwa kematian bisa
datang kapan dan di mana saja juga dalam kondisi apapun.
Beliau
melanjutkan, meski di samping dzikr al-maut juga ada motivasi al-khouf
wa ar-rajaa’ dan lebih tinggi lagi al-mahabbah, “namun untuk
tingkatan manusia biasa seperti kita, maka dzikr al-maut adalah hal yang
paling mungkin mampu kita lakukan.” Pungkasnya mengakhiri penjelasan.
Saat
jarum jam menunjukkan pukul 00:00 WIB pemateri yang dulu sempat menjadi instruktur
perbandingan ideologi nasional HMI itu menutup ngaji dengan membaca istighfar
bersama para santri.
0 komentar:
Posting Komentar