Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

In Memoriam --- Ayah

Lama sudah aku tak bersua denganmu, Ayah… bahkan jika itu hanya dalam mimpi. Ayah, apa kabar kau di sana? Do’a selalu ku kirimkan agar kau bahagia di kejauhan sana, agar kau hidup dengan baik di kehidupanmu yang baru. Ayah, aku tak pernah menyesalkan kepergianmu, karena ku tahu itu bukan pula inginmu. Itu adalah satu keharusan yang suatu saat akan terjadi pula padaku, padanya, dan pada mereka semua yang bernyawa. Hanya, satu hal ku sesalkan, aku bahkan tak kau beri kesempatan untuk menatap wajahmu untuk terakhir kalinya, kau bahkan tak membiarkanku untuk mencium keningmu, kau bahkan tak membiarkan tanganku menggenggam erat tanganmu untuk sekedar mendapat sedikit kekuatan.
Ayah, di sepanjang perjalananku menuju rumah, aku terus dan terus menangis, air mata itu tak tertahankan. Segala bayang bergelanyut, berbagai tanya merundung. Kala ku sampai di pelataran rumah waktu itu, kakiku seakan kaku, tubuhku terasa beku, aku tak lagi kuasa untuk menggerakkan tubuh ini menuju padamu, hatiku hanya terus bergumam “Tak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Jangan menangis. Tuhan, kuatkan dan tabahkan hambaMu yang telah rapuh ini. Tak apa, tak apa.” hingga akhirnya aku tak lagi kuasa dan aku tak tahu apa yang terjadi padaku selepas mengaduh padaNya.
Saat ku buka mata, ada begitu banyak mata memandangku sayu, sembab, dan meneteskan butiran-butiran kecil tiada henti, tapi tak satu pun dari mereka kau Ayah. Aku berharap kaulah yang pertama ku lihat saat ku buka mataku. Anehnya, aku tak jua melihat ibu dan nenek. “Di mana mereka?”. Lalu, ku lemparkan sebuah senyuman pada mereka yang mengelilingiku. Mereka tampak bingung dengan sikapku. “Di mana ayah? Di mana ibu? Di mana nenek?” Tak satu pun dari mereka menjawab. Tiba-tiba kakak sepupuku menarik tubuhku ke dalam pelukannya, “Sabar, sabar yo Nduk.. tina harus kuat, tina harus menguatkan Ibu dan Nenek. Kalau tina ndak kuat, siapa yang akan menguatkan mereka?” ucapnya lirih tanpa sedikit pun kekuatan.
Ku lepaskan pelukan kakak, bangkit dari duduk, mengambil sepotong baju, menyambar handuk, berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Ku guyur sekujur tubuhku untuk mengembalikan kesadaran, untuk memulihkan kekuatan, untuk menghilangkan segala kelemahan. “Air, bawa dukaku pergi, dan hanya sisakan kekuatan untukku.” Ku guyur dan terus ku guyur tubuhku. Lama aku berada di kamar mandi, membuat orang-orang khawatir. Hingga akhirnya aku mampu berdiri tegap, menghampiri ibu dan nenekku yang hampir-hampir tak bernyawa pula. Isak tangis terus menderu, tubuhnya kaku membeku. Tangan tua nenekku meraih tubuhku, seolah ingin memberitahukanku betapa dingin hatinya, betapa hampa jiwanya, betapa kosong pandangannya, betapa sesungguhnya ia ingin memberiku kekuatan namun ia tak memilikinya walau hanya sedikit. Hal serupa terjadi pula pada ibuku. Raungan penyesalan berkali-kali ia lontarkan. “Mengapa secepat itu? Mengapa pergi meninggalkan kami?”
Aku hanya diam menatap mereka, “ikhlas, mari kita ikhlaskan.” Tuturku yang sebenarnya itu juga untuk menyadarkan diriku sendiri. Aku tak kalah lemah dari mereka, jiwaku tak kalah terguncang dari mereka, tapi aku tak boleh menampakkan itu. Mulai saat itu ayah, ku putuskan untuk menjadi seorang dewasa, seorang yang bisa mereka andalkan, seseorang yang bisa mereka jadikan sebagai tempat bergantung dan berharap. Ayah, kepergianmu ku anggap sebagai satu caramu mendewasakanku, kepergianmu kujadikan satu pijakan untukku berani dan bertanggungjawab atas hidupku, hidup ibu dan nenek. Ayah, hingga hari ini, aku melangkah, berjalan dan berlari dengan menggenggam erat tanganmu. Berpegangan erat pada harap dan mimpimu. Jangan pernah biarkan aku sendiri…… ayah…. Bantu aku memilih siapa yang akan mendampingiku menjalani hidup menggapai ridloNya…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar