Lama
sudah aku tak bersua denganmu, Ayah… bahkan jika itu hanya dalam mimpi. Ayah,
apa kabar kau di sana? Do’a selalu ku kirimkan agar kau bahagia di kejauhan
sana, agar kau hidup dengan baik di kehidupanmu yang baru. Ayah, aku tak pernah
menyesalkan kepergianmu, karena ku tahu itu bukan pula inginmu. Itu adalah satu
keharusan yang suatu saat akan terjadi pula padaku, padanya, dan pada mereka
semua yang bernyawa. Hanya, satu hal ku sesalkan, aku bahkan tak kau beri
kesempatan untuk menatap wajahmu untuk terakhir kalinya, kau bahkan tak
membiarkanku untuk mencium keningmu, kau bahkan tak membiarkan tanganku
menggenggam erat tanganmu untuk sekedar mendapat sedikit kekuatan.
Ayah,
di sepanjang perjalananku menuju rumah, aku terus dan terus menangis, air mata
itu tak tertahankan. Segala bayang bergelanyut, berbagai tanya merundung. Kala
ku sampai di pelataran rumah waktu itu, kakiku seakan kaku, tubuhku terasa
beku, aku tak lagi kuasa untuk menggerakkan tubuh ini menuju padamu, hatiku
hanya terus bergumam “Tak apa-apa, semua akan baik-baik saja. Jangan menangis.
Tuhan, kuatkan dan tabahkan hambaMu yang telah rapuh ini. Tak apa, tak apa.”
hingga akhirnya aku tak lagi kuasa dan aku tak tahu apa yang terjadi padaku
selepas mengaduh padaNya.
Saat
ku buka mata, ada begitu banyak mata memandangku sayu, sembab, dan meneteskan
butiran-butiran kecil tiada henti, tapi tak satu pun dari mereka kau Ayah. Aku
berharap kaulah yang pertama ku lihat saat ku buka mataku. Anehnya, aku tak jua
melihat ibu dan nenek. “Di mana mereka?”. Lalu, ku lemparkan sebuah senyuman
pada mereka yang mengelilingiku. Mereka tampak bingung dengan sikapku. “Di mana
ayah? Di mana ibu? Di mana nenek?” Tak satu pun dari mereka menjawab. Tiba-tiba
kakak sepupuku menarik tubuhku ke dalam pelukannya, “Sabar, sabar yo Nduk..
tina harus kuat, tina harus menguatkan Ibu dan Nenek. Kalau tina ndak kuat,
siapa yang akan menguatkan mereka?” ucapnya lirih tanpa sedikit pun kekuatan.
Ku
lepaskan pelukan kakak, bangkit dari duduk, mengambil sepotong baju, menyambar
handuk, berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Ku guyur sekujur tubuhku untuk
mengembalikan kesadaran, untuk memulihkan kekuatan, untuk menghilangkan segala
kelemahan. “Air, bawa dukaku pergi, dan hanya sisakan kekuatan untukku.” Ku
guyur dan terus ku guyur tubuhku. Lama aku berada di kamar mandi, membuat
orang-orang khawatir. Hingga akhirnya aku mampu berdiri tegap, menghampiri ibu
dan nenekku yang hampir-hampir tak bernyawa pula. Isak tangis terus menderu, tubuhnya
kaku membeku. Tangan tua nenekku meraih tubuhku, seolah ingin memberitahukanku betapa
dingin hatinya, betapa hampa jiwanya, betapa kosong pandangannya, betapa
sesungguhnya ia ingin memberiku kekuatan namun ia tak memilikinya walau hanya
sedikit. Hal serupa terjadi pula pada ibuku. Raungan penyesalan berkali-kali ia
lontarkan. “Mengapa secepat itu? Mengapa pergi meninggalkan kami?”
Aku
hanya diam menatap mereka, “ikhlas, mari kita ikhlaskan.” Tuturku yang
sebenarnya itu juga untuk menyadarkan diriku sendiri. Aku tak kalah lemah dari
mereka, jiwaku tak kalah terguncang dari mereka, tapi aku tak boleh menampakkan
itu. Mulai saat itu ayah, ku putuskan untuk menjadi seorang dewasa, seorang
yang bisa mereka andalkan, seseorang yang bisa mereka jadikan sebagai tempat
bergantung dan berharap. Ayah, kepergianmu ku anggap sebagai satu caramu
mendewasakanku, kepergianmu kujadikan satu pijakan untukku berani dan
bertanggungjawab atas hidupku, hidup ibu dan nenek. Ayah, hingga hari ini, aku
melangkah, berjalan dan berlari dengan menggenggam erat tanganmu. Berpegangan
erat pada harap dan mimpimu. Jangan pernah biarkan aku sendiri…… ayah…. Bantu aku
memilih siapa yang akan mendampingiku menjalani hidup menggapai ridloNya…